Janjiku Untuk Desy Part 9

mmm

Cih, baru kali ini aku bertemu dengan orang yang menyebalkan. Edwin, alias kekasih Rona, benar-benar membuatku kesal. Bisa-bisanya dia menuduhku mendekati Rona, padahal yang mendekatiku adalah pacarnya sendiri. Lalu, dia malah dengan entengnya menghajarku, padahal kenal denganku pun tidak pernah. Huh…. Menyebalkan.

Aku sih bisa saja membuat dia babak belur, tapi aku tidak mau melakukan itu. Karena aku sudah berjanji pada Desy untuk tidak berkelahi lagi. Tapi sekarang Desy malah ngambek padaku.

“Aku kan udah bilang, jangan berantem lagi, kenapa kamu berantem lagi?!” kata Desy yang sedang duduk di pinggiran kasur kosanku.

“A…aku minta maaf… Aku terpaksa…”ucapku sambil berlutut menghadap ke arahnya.

“Bodo ah…”

“Yahh… Jangan ngambek terus dong, sayang…”

“Bodo… Aku ngambek…”

Desy memalingkan wajahnya ke samping. Wajahnya cemberut, pipinya menggembung seperti bakpao. Lucu juga kalau dia lagi ngambek, hihihi. Aku naik ke atas kasurku dan duduk di belakang Desy.

“Kamu mau ngapain?” tanyanya sambil terus cemberut.

“Aku mau buat kamu nggak ngambek lagi,” jawabku.

Aku merentangkan kedua tanganku, lalu kudekap perutnya yang rata itu dengan lembut. Kemudian kutopang daguku di pundaknya dan menghadap ke kupingnya. Kudekatkan bibirku ke kupingnya perlahan. Kemudian kubisikan sesuatu ke kupingnya.

“Satu bintang yang paling bersinar diantara bintang lainnya, adalah kamu.”

Desy menundukkan kepalanya. Aku bisa melihat pipinya memerah, senyumnya merekah, bibirnya sedikit bergetar. Dia tersipu malu.

“Apaan sih?” ucap Desy sambil menutup wajahnya yang memerah.

“Hihihi.. Ciee malu ya? Ngambeknya udah ya,” ujarku seraya mempererat dekapanku padanya.

“Jangan peluk-peluk.. Aku masih ngambek..”Desy sedikit menepis tanganku, tapi aku langsung peluk lagi.

“Hehehe. Kamu lucu,” bisikku ke kupingnya yang membuat dia sedikit merasa geli. “Ngambeknya udahan ya.”

“Hmm… Tapi kamu harus janji nggak boleh berantem lagi.”

“Iya, bawel…” Aku mencubit kedua pipinya dan menggoyangkannya.

“Jangan cubit-cubit. Nanti pipiku tembem,” ucapnya sambil membalikan badannya menghadap ke arahku.

“Biarin, weee….” Aku menjulurkan lidah ke arahnya.

“Huh… Nyebelin…”Desy mencubit hidungku sedikit keras.

Ya, beginilah pacarku kalau lagi ngambek. Tapi dia mudah luluh kalau aku membisikan kata-kata ke kupingnya. Lihat saja yang tadi aku lakukan padanya, dan sekarang dia malah jadi tersipu malu.

“Janji ya, jangan berantem lagi. Aku nggak mau lihat kamu kenapa-napa,” ucap Desy sambil terus mencubit hidungku.

“Iya, Desy.. Udah dong nyubitnya, sakit tahu..” Aku menepis tangannya supaya Desy berhenti mencubit hidungku.

“Biarin, habisnya gemes.. Hehe..”

Desy pun melepaskan cubitannya dari hidungku. Kemudian duduk di sampingku. Aku dan Desy mengobrol banyak hal guna mengisi waktu luang yang tersisa. Tak terasa kami mengobrol sampai jam delapan malam.

“Yo, udah malam nih. Anterin aku pulang dong,”pinta Desy sambil mengedipkan matanya berkali-kali.

“Dasar manja, hahaha.”

Desy hanya cengengesan mendengarnya. Kemudian aku membantunya membereskan barang-barangnya. Setelah itu dengan motor kesayanganku, aku mengantarkan pacarku yang cantik ini pulang ke kosannya.

******

Jalanan ibukota malam ini tidak terlalu ramai. Aku bisa melajukan motorku dengan sedikit kencang kembali ke kosanku setelah aku mengantar pacarku pulang. Angin malam menghembus ke kulitku, mataku perlahan terasa berat. Rasanya aku harus menepi dulu, daripada nanti jatuh dari motor. Ah, kebetulan di depan ada mini market.

Kuparkirkan motorku di depan mini market, dan kemudian masuk ke dalam mini market. Kalau ngantuk begini, rasanya aku butuh minuman yang membuatku melek. Sekaleng kopi hitam sepertinya enak. Kuambil sekaleng kopi hitam dari dalam lemari pendingin, lalu beranjak menuju kasir.

Sebentar. Mendadak perutku berbunyi, tanganku sedikit gemetar. Oke, mulai lapar. Aku berjalan ke rak mie instan, kemudian mengambil salah satu cup mie instan disana. Aku pun langsung menyeduhnya, karena kebetulan di dekat sini ada dispenser.

“Ehem.”

Sebuah suara mengagetkanku saat sedang menyeduh mie instan. Aku menoleh ke arah sumebr suara yang ternyata berasal dari sebelahku.

“Malam-malam begini enak makan mie instan ya, mas,” ucap orang itu yang ternyata adalah seorang gadis.

“Eh… iya, hehe.”

“Boleh?” Gadis itu menyodorkan cup mie instan yang terbuka ke mulut dispenser.

“Oh, silahkan. Kebetulan aku udah beres, hehe.”

Aku bergeser supaya dia mudah menyeduh mie instannya. Kalau dilihat-lihat, gadis ini lumayan tinggi juga, hampir menyamai dengan Desy. Lalu rambutnya panjang terurai ke bawah, dan wajahnya cantik. Aku sepertinya mengenalinya, tapi siapa ya? Ah, daripada berpikiran yang tidak-tidak, lebih baik aku membayar dulu ke kasir.

Aku pun beranjak menuju kasir dan membayar kopi dan cup mie instan yang sudah kubeli. Setelah itu aku keluar mini market dan duduk di kursi depan mini market tersebut sambil menikmati mie instan yang baru saja kubeli.

Ah, nikmat sekali makan mie instan malam begini, apalagi cuacanya sedang dingin. Rasa lapar pun menjadi terobati.

Tap!

Sedang enak-enaknya menyantap makan malam, tiba-tiba gadis yang tadi datang dan duduk di sebelahku sambil memegang cup mie instan dan botol air mineral.

“Boleh aku duduk disini?” tanya si gadis.

“Oh, iya silahkan.” Aku sedikit menggeser posisi dudukku.

Gadis itu menyantap makan malamnya sambil sesekali menatap jalanan yang tidak terlalu ramai oleh kendaraan.

“Mie instan yang kamu makan itu rasanya apa?” tanya gadis itu tiba-tiba.

“Eh… rasa kari ayam,” jawabku sedikit gugup.

“Hmm, kalau aku rasa yang pernah ada.”

Uhuk! Uhuk!

Aku sedikit tersedak mendengarnya. Mimpi apa aku semalam? Kok aku bisa bertemu gadis yang tidak jelas ini?

“Eh… hehehe…”

Aku hanya sedikit tertawa saja sambil menggeser lagi posisi dudukku. Diluar dugaan, gadis itu ikut menggeser posisi duduknya sampai mepet dengan posisi dudukku.

“Emm… Maaf, terlalu dekat,” ucapku.

“Eh… maaf kebablasan gesernya, hehe,” ucap wanita itu cengengesan.

“Iya, nggak apa-apa.”

Gadis itu kembali menyantap mie instannya. Kami saling terdiam satu sama lain, tidak tahu lagi apa yang harus dibicarakan.

“Malam ini terasa dingin ya.” Gadis itu tiba-tiba berbicara, mencoba memulai percakapannya denganku kembali.

“Eh, iya,” kataku padanya. “Apalagi kalau makan mie instan pasti badan terasa hangat.”

“Hahaha. Iya, badanku saja terasa hangat sekarang, bagaimana denganmu?”

“Ya, badanku juga terasa hangat.” Aku jadi sedikit canggung dengannya.

Gadis itu menoleh ke arahku, dan aku juga menoleh ke arahnya. Wajahnya terlihat cantik, manis lagi, tapi masih cantik Desy sih. Iya lah, Desy kan pacarku.

“Sepertinya kita pernah bertemu sebelumnya,” kata gadis itu.

“Bertemu? Dimana memangnya? Maaf, aku tak begitu mengenalmu,” balasku sedikit bingung.

Gadis itu mengambil mengambil sesuatu dari dalam tas kecilnya. Sebuah buku novel berukuran sedang sudah berada di tangannya, lalu dia memberikan buku novel itu padaku. Novel itu berjudul A Mysterious Girl. Aku sedikit bingung dengan maksud buku novel yang dia berikan padaku. Memangnya ada yang spesial dengan buku ini?

“Sebenarnya kita pernah bertemu. Coba deh kamu buka halaman paling akhir,” ucap gadis itu.

Aku pun membuka halaman paling akhir novel tersebut. Tertulis sebuah nama disana, dan nama tersebut cukup membuatku menahan nafas sejenak.

“Ke..kenapa ada namaku disini?”

“Itu aku sendiri yang menulis namamu. Dulu kita sempat bertemu di sebuah toko buku.”

“Toko buku?”

Gadis itu menjawab dengan anggukan kepala. “Kamu pasti sudah lupa, karena itu terjadi sudah lama sekali.”

“Kapan?”

“Sejak kita masih SMP dulu.” Gadis itu tersenyum padaku. “Aku juga tahu kalau kamu dulu juga suka berkelahi, iya kan?”

Aku sedikit tercengang mendengarnya. Jujur saja, aku tidak begitu mengingat siapa dia, tapi kenapa dia bisa tahu tentangku ya? Aku jadi sedikit curiga dengannya, jangan-jangan dia intel yang mau menangkap manusia ganteng sepertiku. Ah, pikiranku mulai kemana-mana.

“Siapa kamu sebenarnya?” tanyaku seraya menatap matanya.

Gadis itu tersenyum, lalu dia menjabat telapak tanganku dengan erat. “Kalau begitu kita berkenalan sekali lagi. Aku Jessica Veranda, panggil aku Ve.”

“Ve? Ve siapa?”

“Hahaha. Sudah aku duga kamu tidak ingat, baiklah kalau begitu.”

Gadis yang bernama Ve itu mengambil sesuatu lagi dari dalam tas kecilnya. Sebuah foto sudah berada di tangannya. Di foto itu terdapat dua anak SMP yang sedang duduk berdua di bangku di sebuah toko buku, laki-laki dan perempuan. Aku mengenal siapa sosok laki-laki di foto tersebut, sangat jelas sekali laki-laki itu adalah aku. Tapi siapa wanita di foto ini?

“Yang cewek itu aku. Dulu waktu SMP aku kelihatan gemukan dikit, masa kamu lupa?” ucap Ve sambil terus memandang ke arahku.

Aku sedikit memutar kembali memori masa laluku saat SMP. Saat-saat dimana aku bersekolah, kemudian suka berkelahi dengan murid lain sampai-sampai aku berurusan dengan kepala sekolah. Lalu, sempat juga mencuri beberapa batang besi yang kemudian dijual untuk biaya main PS. Hingga akhirnya aku bertemu dengan seorang gadis di sebuah toko buku.

Wait. Toko buku? Aku mencoba memutar kembali memori otakku saat aku bertemu dengan gadis itu. Saat itu, gadis yang bertemu denganku di toko buku itu memberikanku sebuah buku novel. Gadis itu berkenalan denganku, dan kami mengobrol bersama tentang berbagai macam buku bacaan. Dia memberikanku sebuah novel berjudul Love and Psychopath, tapi sebelum itu dia menuliskan namanya di halaman terakhir novelnya. Selain itu, aku juga memberikan sebuah buku novel berjudul A Mysterious Girl kepadanya, namun sebelum itu aku menuliskan namaku di halaman terakhir novelnya.

Ah, akhirnya aku ingat siapa dia. Gadis yang memberikanku sebuah novel, dan sampai sekarang aku masih menyimpannya di rumah. Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya, dia ternyata menjadi kurusan sekarang, beda dengan yang dulu.

“Bagaimana, apa kau sudah ingat denganku?” tanya Ve sambil menatap ke arahku.

“Ya,” jawabku singkat.

“Hahaha, akhirnya kamu ingat juga. Kamu sudah besar sekarang.”

“Kau juga terlihat langsing sekarang, hehe.”

Ve memanyunkan bibirnya. “Jangan ngeledek ya.”

“Hehehe. Maaf-maaf.”

Ve kembali menyantap mie instannya sambil menatap jalanan yang tidak terlalu ramai.

“Bagaimana kabarmu? Apa masih suka kelahi lagi seperti dulu?” tanya Ve.

“Tidak kok. Ya, walau hanya sedikit sih, hehe,” jawabku cengengesan.

“Hahaha.. Kebiasaan deh.” Ve sedikit tertawa mendengar ucapanku. “Lalu apa yang kamu lakukan di kota yang besar ini?”

“Aku bekerja di cafe. Ya, walau hanya sebagai seorang tukang masak dan barista, tapi penghasilannya cukup untuk kebutuhan hidupku.”

“Wah, dari dulu aku ingin sekali menjadi seorang barista. Aku ingin membuat racikan kopi buatanku sendiri.”

“Kalau kamu mau mencicipi kopi buatanku, kamu datang saja ke cafe tempatku bekerja.”

“Hmm… ya, nanti aku akan mencobanya.”

Aku menyantap kembali mie instanku yang masih tersisa. Sedikit demi sedikit perutku terasa kenyang, setelah itu aku minum kopi kalengku yang sedari tadi belum aku jamah sama sekali.

“Kamu sendiri apa yang kamu lakukan di kota besar ini?” tanyaku padanya yang masih menyantap mie instannya.

“Aku juga bekerja di sebuah toko buku,” jawab Ve.

“Kau tidak kuliah?”

Ve menggelengkan kepalanya.

“Kenapa?”

“Aku ingin membiayai hidupku dengan tanganku sendiri. Ya, dengan bekerja mungkin aku bisa membiayai kuliah nanti,” ucap Ve seraya meminum botol air mineralnya.

“Kau cukup mandiri juga ya.”

“Ah, tidak kok.”

“Kau disini tinggal dengan siapa?”

Ve sedikit meminum minumannya, kemudian dia berbicara kembali. “Aku tinggal sendiri disini. Tadinya ada pacarku yang menemaniku, tapi…”

“Tapi dia meninggalkanmu?” potongku.

Bukan bermaksud tidak sopan memotong pembicaraannya, Aku sudah tahu kemana arah pembicaraannya. Jadi tidak masalah dong.

Ve menjawab dengan anggukan kepala.

“Kenapa dia meninggalkanmu?”

“Dia berselingkuh dengan gadis lain.”

“Kejamnya pacarmu itu.”

Aku bisa merasakan apa yang dia rasakan. Karena sejak sekolah dulu aku juga pernah mengalami hal yang sama dengan gadis ini. Itu jauh sebelum aku pacaran dengan Desy. Aku tidak tahu harus berbuat apa, aku hanya bisa berusaha untuk menghiburnya. Tanpa sadar tanganku ini mengusap-usap rambut panjangnya yang tergerai ke bawah.

“Padahal sejak kami masih pacaran, kami sudah berjanji untuk menjaga hubungan kami sampai menikah nanti. Tapi sekarang…” ucap Ve yang kelihatan sangat sedih.

“Hahaha. Ternyata kau punya janji yang sama denganku,” ucapku.

Ve menaikan sebelah alisnya. “Maksudmu?”

“Ya. Aku sekarang punya pacar, dan aku sudah berjanji padanya untuk menikahinya suatu saat nanti.”

“Apa sekarang kamu masih berhubungan dengan pacarmu?”

“Ya,” jawabku tersenyum.

“Kamu beruntung ya, pasti pacarmu itu baik sekali,” ucap Ve sambil memberikan senyum padaku.

“Hehehe. Dia memang baik, Ve. Sampai-sampai aku sayang banget dengannya.”

“Hahaha.” Ve hanya tertawa menanggapi perkataanku.

“Andaikan aku punya pacar yang sebaik pacarmu itu, pasti hidupku akan selalu bahagia,” kata Ve seraya menyeruput kuah mie instannya.

“Hei, Ve, tak selamanya pacaran itu indah. Banyak rintangan yang harus dihadapi. Susah senang dihadapi bersama-sama, tanpa itu semua hidup kita tidak akan jadi berwarna, monoton saja. Apalagi kalau kau punya janji pada pasanganmu, dan pasanganmu menanti janjimu itu, pasti kamu tidak ingin mengecewakannya kan.”

Duh, mulutku sampai belepotan begini ngomong panjang lebar. Kuharap dia mengerti apa yang barusan aku ucapkan.

“Aku ragu, Yo,” ucap Ve sambil menundukan kepalanya. “Aku ragu apakah aku bisa melakukannya.”

Aku menghela nafas. Entah kata-kata apa lagi yang harus aku ucapkan kepadanya. Aku sih tidak terlalu mempermasalahkan tentang statusnya, tapi yang aku permasalahkan adalah, apa dia bisa berhasil keluar dari zona keterpurukannya? Aku perhatikan dia selalu murung bahkan cenderung sedih jika mengingat kekasihnya yang meninggalkannya.

“Aku yakin kamu bisa, Ve,” kataku mencoba meyakinkannya. “Kamu punya janji kan sama dia? Nah, jadikan janjimu itu sebagai tolak ukur untuk mencari pengganti pacarmu itu. Aku yakin kamu pasti mendapatkan pria yang lebih baik disbanding dirinya.”

Aku bisa melihat setetes air matanya keluar dari kelopak mata yang terlihat indah itu. Dia sedikit menangis, atau mungkin dia sedikit terharu mendengar ucapanku tadi.

“Kamu baik banget sih, Yo,” ucap Ve yang langsung memeluk tubuhku dengan erat. Aku sedikit terkejut dengan hal itu. Hei, kenapa ini?

“Eh…eh…Ve…”

“Eh… maaf… aku nggak bermaksud.” Ve pun spontan melepaskan pelukannya. Pipinya memerah, dia tersipu malu.

“Nggak apa-apa kok, Ve.”

“Andaikan pria yang tepat untukku itu dirimu, pasti aku tidak akan sedih seperti ini lagi.”

“Hehehe.. sayangnya aku sudah punya pacar, gimana dong?”

“Hahaha. Ya ya ya, langgeng terus ya kalian.”

Aku pun tersenyum.

Udara dingin malam semakin menusuk kulit. Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, dan aku harus segera balik ke kosan. Aku beranjak dari tempat duduk mini market dan menuju motorku. Kulihat Ve masih berdiam diri saja di bangku, wajahnya menunjukan raut kebingungan. Ah, sepertinya dia bingung bagaimana caranya pulang, secara jam segini sudah jarang angkutan umum yang lewat di area ini.

“Ve, pulangnya aku antar ya. Kasihan kamu kalau pulang sendirian,” ajakku seraya menghidupkan motorku.

Ve berpikir sejenak, kemudian dia mulai bebicara. “Baiklah kalau begitu. Tapi jangan ngebut-ngebut ya.”

“Oke.”

Ve pun naik ke atas motorku, dan motorku pun mulai melaju menuju rumahnya. Rumah Ve lumayan jauh dari mini market, sampai-sampai bensin motorku hampir habis. Namun untungnya aku berhasil mengantarkn Ve sampai ruamhnya dengan selamat. Sesampainya di rumah Ve, dia turun dari motorku dan mengajakku untuk mampir ke rumahnya.

“Yo, mampir dulu yuk.”

“Emm… lain kali saja, Ve. Sudah malam soalnya, hehe,” timpalku.

“Hmm, ya sudah kalau begitu. Hati-hati di jalan ya.”

“Oke.”

Aku melajukan motorku kembali menuju kosanku karena sudah larut malam. aku butuh tidur yang nyenyak, karena besok harus kerja lagi.

******

Pagi yang cerah mengawali hariku. Aku terbangun dari tidurku. Badanku terasa kurang enak, tapi aku paksakan untuk bangun. Akhirnya aku mulai kerja lagi setelah satu hari libur. Suasana cafe seperti apa ya selama aku libur, pasti tambah ramai saja. Hahaha.

KRING! KRING! KRING!

Ponselku tiba-tiba bordering. Kuambil ponselku dan kulihat sebuah nama tertera pada layar ponsel. Sebuah nama yang selalu membuatku semangat memulai hari. Ya, siapa lagi kalau bukan titan manis yang sudah mencuri hatiku, alias Desy.

“Pagi, Titan Manisku.”

Pagi juga, Monyet Lucuku.

“Tidurnya nyenyak tadi malam?”

Nyenyak dong, apalagi tadi malam mimpiin kamu.

“Emang kayak gimana mimpinya?”

Hmmm…. Malu ah…

“Kenapa malu?”

Soalnya aku sama kamu lagi…..” Desy menggantungkan ucapannya, membuatku jadi semakin penasaran.

Aku sama kamu lagi…… ah malu ah…” lanjutnya.

“Yeee, gimana sih kamu pake malu segala?”

Hehehe. Udah kamu mandi dulu sana, masuk pagi kan sekarang?

“Iya, ini juga mau mandi kok, hehe.”

Oke. Mandi yang bersih ya, pakaian yang rapih, rambut disisir rapih biar nggak kelihatan kucel. Kerja yang bener, jangan ngebantah apa kata bos. Semangat kerjanya, sayang..

“Iya, bawel…”

Hehehe… I love you.

“I love you too.”

Aku pun menutup panggilan tersebut, dan mulai melangkahkan kakiku menuju kamar mandi. Ya, aku rasa hari ini akan terasa menyenangkan, karena pagi-pagi sudah ada yang menyemangatiku, hehehe.

******

Suasana cafe terlihat cukup sepi. Hanya terlihat beberapa karyawan cafe yang sedang membersihkan cafe. Aku mulai masuk ke dalam cafe dan kemudian kusimpan tasku di dalam pantry. Lalu aku mulai melakukan pekerjaan membersihkan cafe, seperti yang sedang aku lakukan saat ini, yaitu menyapu lantai yang terlihat kotor. Lumayan capek juga menyapu lantai cafe yang lumayan luas ini, debu-debu dan kotoran di lantai tersebut lumayan banyak juga. Jadinya perlu tenaga ekstra untuk membersihkannya.

Sedang asik-asiknya menyapu, tiba-tiba dari arah depan datang seorang gadis sambil membawa pengki di tangannya. Dia berhenti tepat di depanku yang sedang menyapu beberapa tumpukan kertas yang berserakan.

“Kak Aryo, aku bantu ya,” ucap gadis itu sambil memungut kertas-kertas kotor itu dengan tangannya.

“Jangan, Citra.” Aku memegang pergelangan tangannya supaya dia tidak mengambil kertas kotor itu lebih banyak lagi. “Nanti tanganmu kotor, dan nggak bisa buat makanan dan minuman dengan hiegenis lagi.”

“Nggak apa-apa kok, kak. Aku bisa cuci tangan kok nanti.”

“Jangan. Mending kamu bantu ngarahin pengkinya mendekat ke sapuku, biar aku gampang menyapu debu dan kotorannya.”

“Hmm.. Oke deh, kak.”

Dia pun mulai menuruti apa yang aku perintahkan. Dia terlihat tersenyum sambil beberapa kali dia curi-curi pandang padaku. Tapi aku melihat senyumannya itu seperti dipaksakan. Seperti bukan Citra yang aku kenal. Ada apa dengannya?

Aku mencoba memutar balikkan memoriku, apakah aku pernah berbuat salah padanya? Kupikirkan terus-menerus sampai akhirnya aku menemukannya. Dulu Citra sempat menyatakan cintanya padaku, tapi aku menolaknya karena aku sudah memiliki pacar. Ah, mungkin karena itu ya dia memperlihatkan senyum paksanya. Mungkin dia masih merasa tidak enak kepadaku, mungkin dia merasa canggung berbicara denganku. Hmmm… aku harus melakukan sesuatu nih.

“Citra, aku minta maaf ya,” kataku padanya. Dia menoleh ke arahku.

“Minta maaf soal apa, kak?” tanya Citra sambil memperlihatkan senyum paksanya.

“Soal aku menolak cintamu waktu itu.”

Citra seketika terdiam sejenak. Duh, apa aku salah ngomong ya?

“Nggak apa-apa kok, kak. Aku udah ngerti kok, hehe.” Citra mulai angkat bicara.

“Kamu nggak apa-apa kan?”

Citra menggelengkan kepalanya.

“Nggak apa-apa kok, kak. Aku jadi mengerti sekarang, kalau cinta itu tidak harus saling memiliki. Mau bagaimanapun aku tetap sayang Kak Aryo, aku sudah menganggap kakak sebagai kakak aku. Karena kakak begitu baik padaku.”

Aku sedikit terharu mendengarnya. Entah ini salahku atau aku yang terlalu bodoh, tapi aku cukup senang mendengarnya, setidaknya bebanku sedikit berkurang.

“Emm… aku boleh peluk Kak Aryo nggak, sebagai tanda kalau aku sayang sama kakak sebagai adik?”

Kujawab dengan anggukan kepala. Kemudian dengan cepat Citra langsung memeluk tubuhku dengan erat. Aku membalas pelukannya dengan hangat, kucium rambut panjangnya yang berwarna hitam. Sebuah pelukan antara kakak-beradik yang membuatku merasakan kehadiran adik kesayanganku, Nabilah, berada pada dekapanku. Entah mengapa sosok Citra mengingatkanku pada Nabilah. Sedang apa ya dia sekarang?

5 menit aku berpelukan dengannya, aku pun melepaskan pelukannya. Citra sedikit menolak ketika aku melepaskan pelukannya. Dia masih ingin berada dalam dekapanku. Aku sedikit memberi pengertian padanya agar segera melepaskan pelukannya, jika tidak bisa gawat kalau dilihat orang lain.

“Udah pelukannya ya, sekarang lanjut kerja lagi,” ucapku seraya mengambil sapuku yang terjatuh.

“Hehehe.. Oke deh, kak.”

Aku dan Citra mulai melanjutkan pekerjaan kami yang tertunda. Sampai akhirnya bos kami, Melody masuk ke dalam cafe dan memerintahkan semua karyawan untuk berkumpul di dekat meja bar. Semua karyawan termasuk aku dan Citra sudah berkumpul di depan meja bar, menunggu apa yang ingin diintruksikan oleh Melody. Apakah ini soal kenaikan gaji? Kalau benar, beruntungnya aku, lumayan buat beli PS baru. Hahaha..

“Baiklah, saya ingin memberitahukan satu pengumuman kepada kalian,” kata Melody memulai instruksinya.

“Apa itu, teh?”

“Cafe kita akan kedatangan 2 karyawan baru. Dua orang ini cukup kompeten di bidangnya.”

“Siapa mereka, teh?” tanya salah seorang karyawan lain.

“Sebentar, saya panggilkan mereka dulu.”

Melody menepukkan tangannya 3 kali. Kemudian dua orang masuk ke dalam cafe, pria dan wanita. Dua orang tersebut berdiri di samping Melody dan menatap kami semua.

“Mereka adalah yang akan bekerja disini. Coba perkenalkan diri kalian.”

Salah seorang dari mereka mulai memperkenalkan diri.

“Perkenalkan, namaku Fadhillah Ridwan. Aku bisa membuat berbagai macam racikan kopi, mohon bantuannya.”

Kemudian salah seorang lagi memperkenalkan diri.

“Perkenalkan, namaku Shania Junianatha. Aku bisa membuat berbagai macam makanan sesuai dengan kreasiku. Mohon bantuannya.”

“Baiklah, kalian sudah berkenalan dengan teman baru kalian kan? Saya harap kalian bisa bekerja sama dengan mereka,” ucap Melody sambil menatap ke arah kami semua.

“Nah, Fadhil kamu bisa saling berkonsultasi dengan Aryo, dia cukup handal dalam membuat kopi. Sedangkan untuk Shania, kamu bisa saling berkonsultasi tentang makanan dan minuman dengan Citra dan Sisca, mereka cukup handal dalam membuat sebuah masakan,” lanjut Melody.

“Baik, teh,” ucap Fadhil dan Shania bersamaan.

“Baiklah, semuanya kembali bekerja!”

Semua karyawan cafe pun mulai melanjutkan pekerjaannya masing-masing. Sementara aku, Citra, dan Sisca mengajak Fadhil dan Shania berkeliling cafe yang lumayan luas ini. Kami berkeliling cafe dari ruang utama yaitu ruang makan, lalu ke area meja bar, dapur, pantry, sampai ke kamar mandi. Hingga akhirnya tak terasa 15 menit kami berkeliling, dan kami pun memutuskan melakukan apa yang sudah diperintahkan Melody.

Aku mengajak Fadhil untuk membuat berbagai racikan kopi, sementara Citra dan Sisca mengajak Shania ke dapur untuk membuat berbagai macam makanan yang menjadi andalan di cafe ini. Semoga saja dengan adanya mereka, cafe ini semakin ramai didatangi pengunjung,

“Maaf, apakah ini sudah benar?” tanya Fadhil padaku sambil memperlihatkan secangkir kopi hitam di tangannya.

“Sebentar biar kucoba terlebih dahulu,” ucapku seraya mencicipi kopi buatannya.

“Hmmm… sedikit lebih pahit, tapi enak. Mungkin ditambah sedikit gula akan terasa lebih nikmat.”

“Oke kalau begitu. Maaf, sebenarnya aku masih amatir dalam membuat kopi, hehehe.

“Tidak masalah, aku juga masih belajar kok, hehehe.”

“Tapi kau begitu mahir dalam membuat kopi.”

“Ah, biasa saja kok, hehe.”

Fadhil sedikit mendekatkan dirinya padaku, kemudian dia menuangkan satu sachet kopi hitam ke dalam cangkir. Lalu dia menuangkan sedikit air panas ke dalamnya.

“Ajari aku membuat kopi, senpai Aryo,” Fadhil memohon padaku.

“Aku belum terlalu tua untuk dipanggil senpai.

“Hehehe.” Fadhil hanya cengengesan saja.

“Tenang saja, aku akan mengajarimu.”

“Terima kasih, senpai.”

******

Jam sudah menunjukan pukul 1 siang, tak terasa jam istirahat sudah mulai. Aku berjalan ke dapur melihat makanan apa saja yang bisa dimakan. Setelah lelah menyiapkan berbagai minuman dan kopi ke pelanggan, selain itu aku juga mengajari Fadhil membuat kopi, perutku menjadi lapar. Aku perlu asupan makanan supaya bisa berenergi kembali saat bekerja.

Kulihat di dapur ada beberapa karyawan yang sedang memasak. Disana juga aku melihat Shania yang sedang memasak ditemani Citra dan Sisca. Aku coba menghampirinya saja siapa tahu aku bisa mencicipi masakan buatannya.

“Hei, Aryo!” panggil Sisca. Aku pun menghampirinya.

“Cobain deh masakan Shania.” Dia menyodorkan piring berisi spaghetti.

“Ini buat aku nih?” Aku mencoba memastikan terlebih dahulu apa benar ini untukku? Takutnya di dalam spaghetti ini terdapat racun, terus kalau aku sampai mati siapa yang akan mengurus semua ini. Oke, terlalu berlebihan.

Aku pun mencoba masakan yang dibuat Shania. Suapan pertama, belum terasa enaknya. Suapan kedua, lumayan juga rasanya. Suapan ketiga, enak sekali rasanya. Suapan keempat, mataku berbinar-binar. Suapan kelima, spaghetti-nya sudah habis dan aku minta tambah karena ini enak sekali. Tidak disangka-sangka, Shania hebat juga dalam memasak.

“Shania, kamu jago banget masaknya. Bahkan ini lebih enak dibanding yang aku buat,” pujiku padanya.

“Te..terima kasih..” ujar Shania. Kulihat pipinya memerah, matanya tidak berani menatap wajahku. Rupanya dia tersipu malu.

“Emm… a..apa kamu mau aku buatkan lagi, kebetulan bahannya masih banyak?” tanya Shania gugup.

“Hmmm, boleh. Kebetulan aku masih lapar, hehe,” ucapku sambil menggarukkan belakang kepalaku yang tidak gatal.

“Eh.. ba..baiklah kalau begitu. Se..sebentar ya..”

Dia berbalik badan dan mulai berjalan ke kulkas untuk mengambil bahan-bahannya. Aku jadi sedikit heran dengan sikapnya yang malu-malu begitu. Apakah dia…..? Ah, hanya perasaanku saja.

“Ciee… cieee….” Ledek Sisca dan Citra padaku. Aku tidak tahu apa yang mereka ledekan. Ah, bodo amat, hahaha.

“Apaan dah?”

Mereka berdua hanya cengengesan sambil tertawa saja. Dih, aneh dasar.

“Oh ya, kalau spaghetti-nya udah jadi kasih ke aku ya, aku ada di depan cafe,” ucapku pada Shania yang sudah mulai memasak kembali.

“I..iya.” Bisa kulihat pipinya masih memerah. Ya sudahlah, lebih baik aku menunggu di depan cafe saja.

Aku melangkahkan kakiku menuju depan cafe. Disana terdapat beberapa meja dan kursi, aku duduk di salah satu kursi yang ada disana sambil menunggu masakan buatan Shania datang. Masakannya benar-benar enak. Kalau yang ini lebih enak lagi, aku ingin mencobanya lagi. Kapan lagi makan masakan buatan anak baru, hahaha.

Lumayan lama juga menunggu Shania membuatkan makanan untukku, sampai beruban rambutku. Halah, mulai berlebihan. Sebenarnya tidak terlalu lama juga sih, hanya sekitar 30 menit saja, ya 30 menit saja. Lama sekali hanya memasak spaghetti bisa sampai 30 menit, biasanya cukup 20 menit saja. Sambil menunggu aku memainkan pot bunga kecil yang ada di atas meja. Kumainkan bunga tersebut sesuka hati hingga kelopak mataku terasa berat. Kesadaranku mulai menghilang dan mataku menjadi gelap, lalu aku pun tertidur.

“Hmmm… aroma apa ini? Baunya enak sekali.”

Ditengah ketidaksadaranku, aku mencium sebuah aroma yang sangat lezat masuk ke hidungku. Aroma tersebut membuat nafsu makanku semakin bertambah. Kubuka mataku perlahan dan kudapati sebuah piring berisi spaghetti di atas meja dan sebuah jus jeruk kesukaanku.

“Weh.. spaghetti buatan Shania lagi nih, ada es jeruknya juga lagi, haha. Tapi mana Shania ya? Ah, sudahlah yang penting makan dulu.”

Aku mulai memakan makanan buatan Shania tersebut sampai habis. Setelah habis aku pun beranjak menuju dapur hanya untuk mengucapkan terima kasih padanya karena telah membuat masakan yang begitu enak.

Kubuka pintu dapur, namun aku merasakan sesuatu terdorong ke belakang. Aku melihat itu langsung kuraih tangannya dan langsung kudekap agar dia tidak jatuh. Dia melihat ke arahku dengan tatapan malu-malu, dan pipinya memerah.

“Eh?!”

~To be continued~

Oleh: Martinus Aryo

Twitter: @martinus_aryo

~~~~~~~~~~

Hallo… ^^

Apa kabarnya nih? Balik lagi sama author satu ini, hehehe. Akhirnya setelah sekian lama Janjiku Untuk Desy update juga. Maaf ya, upadate-nya sangat lama. Karena gue sempet vakum dulu untuk ff ini beberapa minggu bahkan sampe berbulan-bulan. Mungkin. Entahlah, gue tidak begitu ingat. Maafkan ya, hehe.

Untuk ke depannya gue usahakan agar update-nya tidak terlalu lama lagi. Maaf ya, kalau di part ini masih kurang bagus ceritanya. Gue usahakan di part selanjutnya akan semakin menarik lagi, hehe. Oke, mungkin segitu dulu aja. Terima kasih sudah membaca ff gue ini :v

2 tanggapan untuk “Janjiku Untuk Desy Part 9

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.