Janjiku Untuk Desy, Part11

jkhgl

Aku benar-benar mendapat masalah besar! Bagaimana tidak, di depanku sudah ada dua orang yang sedang menatapku tajam, seakan-akan mereka benci padaku. Salah satu dari mereka bertubuh tinggi, rambut klimis mengikuti mode rambut jaman sekarang, memakai kemeja putih dan celana jeans hitam. Sedangkan yang satunya, bertubuh agak pendek namun tingginya sedikit menyamai orang disebelahnya, berambut pendek, memakai kaus merah dan dilapisi jaket berwarna hitam, serta celana jeans. Mereka tersenyum menyeringai sambil mengepalkan kedua tangannya. Alis mereka mengerut hingga urat-urat pada wajahnya terlihat.

Aku melihat ke arah samping. Terlihat Desy menunjukan raut wajah bingung melihat kedua orang itu. Wajar saja, karena Desy tidak mengetahui tentang kedua orang tersebut, terutama masalah yang dimiliki kedua orang itu denganku. Aku tidak ingin pacarku terlibat dalam masalah ini, oleh sebab itu aku akan melindunginya jika kedua orang itu berani berbuat macam-macam dengannya.

“Kita bertemu lagi,” ucap salah seorang yang bertubuh tinggi. “Apa kau masih mengenaliku?”

“Jelas aku tahu siapa kau,” jawabku menyeringai. “Edwin. Dan orang disebelahmu pasti bernama Adi.”

“Hahahaha….. ingatan kau kuat juga ternyata.”

“Kita hajar dia! Ayo, Di!” lanjutnya.

Dua orang tersebut yang ternyata adalah Edwin dan Adi, orang yang waktu itu menghajarku di mall karena dia menuduhku mendekati Rona, pacarnya. Perkelahian memang tak bisa dihindarkan saat itu. Aku hampir memenangkan perkelahian, namun tiba-tiba aku tersadar akan perkataan Desy, bahwa aku tidak boleh berkelahi lagi. Tapi saat itu aku mengingkarinya karena aku terpaksa. Dan sekarang aku kembali dalam situasi yang sama, namun berbeda dengan waktu itu. Desy, ya, dia ada di sebelahku. Jika aku berkelahi lagi, apalagi tepat di depan matanya; dia pasti akan sangat marah padaku. Aku berada di situasi yang sulit.

BUAGHHH!

Satu pukulan yang dilakukan oleh Edwin mendarat di pipiku. Aku terhempas dan jatuh ke tanah. Aku merasakan bibirku sedikit asin, kucoba mengusap bibirku dengan ibu jari dan kulihat bercak merah disana.

“Aryo!”

Desy berteriak. Dia berlari ke arahku dengan tergesa-gesa, menjatuhkan boneka beruang berwarna pink ke atas tanah. Dia mencoba membantuku berdiri, bisa kulihat wajahnya menunjukkan raut kekhawatirannya, matanya sedikit mengeluarkan air mata.

“Aku tidak apa-apa, Des,” kataku tersenyum, mencoba mengurangi rasa khawatir meski aku tahu dia sangat khawatir.

“Tapi kamu terluka, Yo…”

“Sudah, tak perlu menangis. Aku tidak apa-ap..”

Salah satu dari dua orang brengsek itu tiba-tiba menarik lenganku menjauh dari Desy. Kulihat Adi sedang menarikku menuju Edwin. Dihempaskannya aku hingga aku jatuh tepat di bawah kaki Edwin. Dia mengangkatku secara paksa hingga wajahku bertemu dengan wajahnya.

“Wah wah wah…” ucap Edwin seakan-akan merendahkanku. “Mana perlawananmu? Apa kau takut karena pacarmu ada disini?”

Aku sedikit tersenyum. “Hehehe, aku bukan takut, tapi karena aku sudah berjanji padanya.”

“Janji? Janji sampah maksudmu? Hahaha..”

“Cih, terserah kau bilang apa, aku tidak peduli.”

CUIH!

Aku meludah ke wajahnya, membuat wajahnya dilumuri oleh air liurku. Bisa kulihat ekspresi Edwin yang sangat geram, namun ekspresi itu membuatku tertawa. Benar-benar lucu sekali.

“Errrgggghhhh…. Kau…!!!”

Edwin semakin mencengkeram kerah bajuku, membuatku menjadi sedikit sesak. Dia menatapku tajam, namun aku membalasnya dengan tatapan penuh dengan tawa. Dalam hati, aku tertawa puas melihat ekspresi kemarahannya. Itu sungguh lucu sekali, apalagi wajahnya dilumuri oleh air liurku sendiri. Benar-benar membuatku terhibur. Dia semakin menatapku tajam. Urat-urat di wajahnya semakin jelas terlihat, nafasnya memburu seperti banteng yang hendak menyeruduk lawannya. Dia mengangkat tubuhku ke atas. Sekarang apa yang akan dilakukannya?

Tiba-tiba aku terhempas ke atas tanah, menabrak deretan motor yang terparkir rapih di parkiran pasar malam ini. Rupanya Edwin melemparku dengan kuat. Kuakui, kali ini benar-benar terasa sakit. Aku hendak berdiri, tapi tiba-tiba sebuah tendangan keras tepat mengenai bagian dadaku. Alhasil, aku kembali menabrak deretan motor itu. Kucoba melihat siapa yang telah lancang menendangku, kudapati Adi yang bersiap dengan tendangan berikutnya.

BUAGHH!!!

Tendangan Adi tepat mengarah ke kepalaku, membuatku terhempas ke samping. Tendangannya begitu kuat hingga hidung dan mulutku mengeluarkan darah. Kuakui lagi, benar-benar terasa sakit.

“Aryo!”

Kulihat Desy berteriak memanggil namaku. Dia hendak berlari menuju ke arahku, namun aku menjulurkan tangan kananku, memberi tanda supaya dia tidak berusaha mendekatiku. Jika dia menghampiriku, kemungkinan besar dia juga akan terluka oleh dua orang brengsek ini.

“Des, jangan kesini. Aku tidak mau kamu sampai terluka juga,” kataku sambil berusaha tersenyum.

“Tapi….”

Kulihat wajahnya yang begitu menunjukkan raut kekhawatiran. Air matanya mengalir deras, diikuti isak tangisnya ketika melihatku terluka. Aku mengerti dia ingin berusaha menolongku, tapi dalam situasi seperti ini rasanya mustahil, aku tidak ingin dia ikut terluka juga. Lebih baik aku yang menanggung rasa sakit ini sendiri.

“Kamu tenang saja, Des. Aku baik-baik saja..”

Adi mengangkat tubuhku ke atas. Dicengkeramnya kerah bajuku dengan kuat, membuatku menjadi merasa sesak. Dia menatapku dengan bengis. Bisa kurasakan aura kebencian menjalar ke seluruh tubuhnya. Kemudian dengan cepat, dia menyundul kepalaku dengan keras. Kepalaku mendadak pusing, mataku berkunang-kunang, darah mengalir keluar dari dahiku.

Edwin berjalan ke arahku yang masih dicengkram oleh Adi. Dijambaknya rambutku dengan keras, membuatku merasa kesakitan. Lalu diarahkannya wajahku menatap ke wajahnya. “Hei, Aryo. Kenapa kau tidak melawan, biasanya kau akan melawan? Apa kau takut?”

“Hah.. untuk apa aku takut pada makhluk brengsek seperti kalian?” Aku tersenyum sinis, seakan-akan aku merendahkan mereka. “Buang-buang waktu saja.”

“Bilang saja kau takut karena ada pacarmu yang melihatmu, kan?”

“Hahaha.. lucu sekali kau.”

“Lucu?”

“Iya, lucu, kalian bertindak bodoh seperti anak kecil. Itu sungguh membuatku ingin tertawa.” Aku kembali tersenyum dan menatap sinis dua orang tersebut. “Kalian ini, lucu sekali..”

Edwin semakin keras menjambak rambutku. Ditariknya rambutku hingga membuatku meringis kesakitan. Aku ingin sekali melawan mereka, tapi aku sudah berjanji pada Desy untuk tidak berkelahi lagi. Jadi aku berusaha untuk diam saja, tidak melawan mereka.

“Kuperingatkan sekali lagi, jangan dekati Rona lagi! Jika tidak, kau akan mendapat yang lebih parah dari ini!” kata Edwin seraya meninju baian perutku dengan keras. Kemudian disusul dengan sundulan keras Adi tepat ke keningku, membuatku kembali merasa pusing yang teramat sangat.

“Hah….” Aku menghela nafas sejenak, mengatur nafasku yang sedikit sesak. Lalu mulai berbicara padanya. “Harus berapa kali kukatakan, aku tidak mendekati pacar kesayanganmu. Dia sendiri yang mendekatiku…”

“Jangan mengelak kau, dasar ‘Rempeyek Udang’!” bentak Edwin.

“Woah, rempeyek udang enak tuh kalau dimakan. Rasanya ‘kres-kres’ gitu, deh.”

“Sialan! Masih sempat-sempatnya kau bercanda!”

Edwin kembali meninju perutku, namun pukulannya lebih sakit dari sebelumnya, karena dia memukulku bertubi-tubi. Aku memuntahkan darah karena pukulan Edwin yang begitu keras. Darah terciprat hingga ke wajah Adi. Dia geram, kemudian menyundul kepalaku lagi. Sial!

“Woy, Di! Lempar dia ke pacarnya!” perintah Edwin.

Aku bisa merasakan tubuhku semakin terangkat ke atas. Kemudian dengan sedikit kencang Adi melemparku menuju ke arah Desy. Aku terjatuh ke tanah, tepat di bawah kakinya. Untungnya tubuhku tidak mengenai Desy.

Desy langsung berlutut di depanku. Diangkatnya tubuhku yang sudah babak belur dalam posisi duduk. Dia melihatku dengan tatapan sedih, air matanya masih mengalir dengan derasnya. Suara isak tangisnya semakin terdengar keras. Aku mencoba menyeka air matanya yang masih mengalir, berusaha untuk membuatnya tenang.

“Yo, kamu tidak apa-apa?” tanya Desy ditengah isak tangisnya.

“Aku tidak apa-apa, kok. Kamu tenang saja,” jawabku.

“Tapi kalau kamu tidak lawan mereka, kamu bakal tambah terluka.”

“Aku tidak bakal melawan mereka. Aku sudah berjanji padamu kalau aku tidak akan berkelahi lagi.”

Seketika Desy terdiam. Dia menatapku lekat-lekat, kemudian kembali menangis.

“Tapi dengan situasi yang seperti ini, aku memperbolehkanmu. Lawan mereka, Yo!”

Aku sedikit tersenyum. Kuusap kedua pipinya yang basah oleh air mata kesedihannya, lalu kutatap matanya. “Tidak. Aku sudah berjanji padamu kan, jadi aku tidak mau melanggar janji itu. Kamu tenang saja, aku pasti baik-baik saja.”

Kulihat Desy sedikit tersentak. Tangisnya semakin kencang. Aku mengerti dengan yang dirasakannya, tapi mau bagaimana lagi, aku tidak mau mengingkari janji yang sudah terikat. Ya, yang bisa kulakukan sekarang hanyalah pasrah menerima serangan-serangan yang dilancarkan dua orang brengsek itu.

“Hei, gadis cantik.” Tiba-tiba Edwin menyapa Desy yang masih menangis terisak. Desy menoleh ke arahnya. Bisa kulihat tatapannya berubah dari tatapan sedih menjadi sangat marah melihat Edwin.

“Kalian mau apa?! Apa urusan kalian memukuli Aryo?!” bentak Desy.

“Wow… santai, dong, jadi cewek jangan marah-marah nanti cantiknya luntur,” ucap Edwin sambil tertawa.

“Berisik!”

“Hahaha… ini cewek lucu juga. Buat lu saja, Di, bawa dia.”

Adi langsung berjalan ke arah Desy, hendak meraih lengan Desy.

Apa yang akan dilakukan olehnya terhadap Desy? Aku tidak mau ada orang asing yang berani menyentuh pacarku, apalagi berusaha menyakitinya. Jika sampai itu terjadi, maka orang itu akan berurusan denganku.

“Jangan berani-berani menyentuh dia!” bentakku sambil mencoba berusaha untuk berdiri walaupun badanku terasa sakit.

Aku berjalan ke arah Desy, lebih tepatnya berdiri di depannya, berusaha untuk melindungi Desy dari tangan Adi yang ingin menyentuhnya. Kulihat ke belakang, rupanya Desy sudah berdiri dan berlindung di belakangku. Aku mulai memposisikan tubuhku ke posisi menyerang. Adi yang melihat itu juga melakukan hal yang sama.

“Des, kali ini aku tidak tinggal diam kalau ada orang yang berusaha menyakitimu,” kataku.

Bisa kulihat wajah Desy berubah. Ukiran senyum mengembang di bibirnya, menunjukkan sedikit barisan gigi seputih mutiara. “Hati-hati, Yo.”

Kujawab dengan anggukan kepala.

Kulihat Adi masih dalam posisi siap menyerangku. Badanku sebenarnya masih terasa sakit akibat pukulan-pukulan dari mereka, ditambah lagi keningku yang berdarah akibat sundulan tadi. Tapi aku masih kuat untuk meladeni mereka. Kulihat Edwin yang sedang berdiri di belakang Adi sambil menatapku tajam.

“Oh, ternyata lu masih kuat juga, ya,” ucap Edwin. “Woy, Di! Habisi dia!”

Adi mengangguk. Dia langsung melesatkan tendangannya ke arah wajahku. Aku menghindar, namun saat itu juga aku langsung menangkap kakinya dan kutarik dengan kencang. Tubuh Adi langsung terjatuh ke tanah, saat itu juga aku langsung menendang bagian selangkangannya. Dia mengerang kesakitan sambil memegangi selangkangannya. Nah, dengan ini dia tidak akan mampu bergerak sementara waktu.

Pandanganku beralih menuju Edwin yang sekarang diam terpaku sambil menatap temannya yang terkapar. Aku tersenyum ke arahnya. Dia menyeringai.

“Woy, bocah kampret! Giliran lu sekarang!” kataku dengan nada tinggi.

Edwin menggeram. Dia berlari hendak melayangkan pukulannya. Dengan wajah yang babak belur disertai kening yang berdarah, aku langsung melayangkan tendangan andalanku tepat ke wajahnya. Dia langsung terhempas dan jatuh ke tanah sambil memegangi wajahnya yang kesakitan.

“Brengsek!” bentak Edwin seraya bangkit dan hendak memukulku lagi.

Satu pukulan aku layangkan ke wajahnya saat dia hendak memukulku. Kemudian, kutendang dengan keras wajahnya hingga dia terhempas menabrak deretan motor yang terparkir. Dia mengerang kesakitan sambil memegangi bibirnya yang berdarah. Setelah itu dia bangkit dan berjalan menuju Adi yang masih terkapar sambil memegangi selangkangannya. Dia mengangkat tubuh temannya itu, berdiri tepat disebelahnya.

“Kali ini lu menang. Ingat! Urusan kita belum beres!” kata Edwin.

“Hah….” Aku menghela nafas sejenak sambil menggelengkan kepala. “Harus berapa kali kubilang, aku tidak punya urusan denganmu.”

Edwin terdiam sejenak, kemudian dia mulai meninggalkan area pasar malam sambil menuntun temannya itu. Akhirnya, dua orang yang mengusik kehidupanku itu pergi juga dari sini. Aku dan Desy pun merasa lega.

“Kamu tidak apa-apa, Yo?” tanya Desy sambil memegang wajahku yang lebam akibat pukulan.

“Aku tidak apa-apa, Des, hehehe,” jawabku cengengesan, mencoba untuk mencairkan suasana tegang.

“Kita pulang, yuk. Aku mau ngobatin luka-luka kamu.”

“Iya.”

******

Disinilah aku sekarang, di sebuah tempat yang empuk dan sangat nyaman, yaitu kasur tempat kosku sendiri. Aku terbaring di atas kasurku yang nyaman sambil menahan rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuh. Setelah kejadian tadi di pasar malam, seluruh tubuhku menjadi sakit, badanku terasa pegal, belum lagi wajahku yang babak belur dan darah menghiasi dahiku. Untungnya, ada Desy yang sedang duduk di sebelahku sambil mengobati luka-lukaku.

“Aduh… pelan-pelan, Des,” ucapku sambil memegang keningku yang sedang diperban.

“Sakit, ya?”

“Iya, sakit lah..”

“Hahaha… maaf-maaf.”

Desy membalut luka yang terdapat di keningku menggunakan perban. Setelah lukaku tertutup perban, dia mengambil perekat dan merekatkan ke perban tersebut agar tidak terlepas. Rasa sakit di bagian kepalaku sudah berangsur berkurang karena lukanya sudah terobati, walaupun rasa sakit pada tubuhku masih terasa.

Kalau mengingat lagi kejadian tadi, memang aku ini sedikit agak bodoh. Tidak mau melawan mereka yang jelas-jelas sudah menyiksaku. Tapi mau bagaimana lagi, aku sudah berjanji pada Desy agar tidak berkelahi lagi. Mungkin saja jika aku melawan mereka langsung, aku tidak akan mendapatkan luka yang sedikit lumayan parah ini. Tapi untungnya, Desy memahami situasi saat itu. Dia mengijinkan aku untuk berkelahi lagi, karena memang situasi saat itu mereka hendak menyakitinya dan jelas aku tidak terima, makanya aku langsung melakukan perlawanan.

“Masih sakit?” Desy menekan sedikit luka pada wajahku.

“Sudah agak mendingan.”

Desy tersenyum.

“Aku masih tidak mengerti apa maksud tujuan mereka mukulin kamu tadi. Kamu punya masalah sama mereka?”

Seketika aku terdiam mendengar yang diucapkan Desy barusan. Aku kebingungan mau menjawab apa, lantaran dia tidak terlibat dalam masalah yang sedang kuhadapi ini. Jika aku berkata jujur tentang masalahku, kemungkinan Desy akan merasa kecewa padaku. Tapi, jika aku tidak menceritakannya, maka dia akan terus semakin penasaran dengan masalahku, atau bisa saja dia kehilangan kepercayaannya terhadapku. Aku tidak mau mengalami hal itu. Lantas apa yang harus aku katakan padanya?

“Kok diam saja?”

Aku tercekat. Jantungku berdetak dengan kencang, mengikuti irama deru nafasku karena rasa gelisah. Oke, aku kebingungan mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan perihal masalah yang sedang kuhadapi. Apa aku berkata jujur saja, ya?

“Emmm…” Aku bergumam, memikirkan kata-kata yang tepat. Hingga akhirnya, aku mencoba untuk bicara. “Jadi sebenarnya….”

Belum selesai aku bicara, sebuah ketukan pada pintu kamar kos berbunyi. Desy beranjak dari atas kasur dan membukakan pintu. Terlihat dua orang manusia, pria dan wanita sedang berdiri di depan pintu. Aku mengenali sosok yang pria, dia adalah teman kosku bernama Willy. Namun, saat aku melihat sosok wanita yang bersama Willy, seketika jantungku berhenti berdetak. Sosok wanita yang aku lihat adalah sumber dari masalah yang sedang aku hadapi. Ya, dia adalah Rona. Kenapa dia bisa datang kesini?

“Maaf, dia ingin bertemu Bang Ar,” ucap Willy sambil menunjuk Rona disebelahnya.

“Oh, silahkan masuk.” Desy mempersilahkan Rona masuk ke dalam kamarku, sementara Willy pergi meninggalkan kamar kosku dan masuk ke kamarnya.

Aku menatap lekat ke arah Rona yang sekarang sedang berdiri sambil menatap seluruh tubuhku yang terluka. Desy mulai duduk di tepi ranjang sambil memeriksa keadaan luka di kepalaku.

“Rona, ada apa datang kesini?” Aku mulai angkat bicara.

“Aku datang kesini untuk minta maaf padamu,” jawabnya seraya menundukan kepalanya.

“Minta maaf untuk?”

“Aku minta maaf atas perlakuan pacarku terhadapmu. Kamu jadi terluka akibat ulah pacarku.”

“Ya, tidak apa-apa,” jawabku singkat.

Desy yang berada di tepi ranjang hanya menatap kami berdua bergantian dengan tatapan penuh tanya. Jelas, dia sangat penasaran dengan apa yang terjadi sebenarnya. Aku ingin memberitahunya, tapi nanti saja, karena sumber masalah ini sedang berada disini sekarang. Akan aku katakan pada Desy jika Rona sudah meninggalkan kamar kosku.

“Hmm, ya sudah kalau begitu. Aku hanya ingin memeinta maaf padamu saja.” Rona mulai angkat bicara. Suaranya sedikit serak. “Aku pulang dulu, ya. Lekas sembuh.”

Rona berlalu, menyisakan kami berdua di dalam kamar. Keheningan tercipta ke seluruh penjuru kamar kos. Aku dan Desy saling terdiam satu sama lain, tidak ada yang melakukan pembicaraan setelah kepergian Rona. Aku hanya berbaring saja sambil menatap langit-langit kamar. Sementara Desy hanya diam mematung di tepi ranjang sambil menatapku.

“Perempuan tadi siapa?” Desy mulai angkat bicara guna memecah keheningan yang menyelimuti kami berdua.

Aku sedikit gelagapan mendengar yang diucapkannya barusan. Namun, aku berusaha untuk tetap tenang. “Hmm… dia bernama Rona Anggraeni, teman sekolahku dulu.”

“Terus kenapa dia meminta maaf padamu? Sebenarnya ada masalah apa?”

Aku terdiam sejenak. Bagaimana aku menjawabnya, ya? Kalau aku mengatatakan yang sejujurnya, kemungkinan dia akan marah padaku. Tapi kalau aku tidak mengatakan dengan jujur, keadaan mungkin akan menjadi lebih parah.

Ah, lebih baik aku mengatakan yang sebenarnya.

“Jadi dia itu sebenarnya….”

Aku mulai menceritakan mulai dari saat aku pertama kali berkenalan dengan Rona, yang kemudian aku sempat jatuh hati padanya, namun malah berujung pada sebuah penolakan yang menyakitkan. Kemudian, setelah beberapa lama tidak bertemu lagi dengannya, dia tiba-tiba saja datang dan berusaha mengusik kehidupanku, padahal aku sudah terlepas darinya. Hingga pada akhirnya, kekasihnya memperburuk masalah yang terjadi dengan semacam perkelahian yang membuatku geram.

Aku sudah menceritakan masalah yang sebenarnya kepada Desy. Sekarang tinggal menunggu respon darinya saja, apakah dia akan marah padaku atau justru sebaliknya?

“Parah banget, sih dia jadi cewek!” Suatu pernyataan yang mengejutkan. Kata-kata itu terlontar dari mulut Desy. “Sudah tahu kalau sudah punya pacar, malah berusaha deketin cowok lain. Malu-maluin saja.”

Aku hanya terdiam saja mendengar yang diucapkan Desy. Jujur saja, aku jadi tidak bisa berkata apa-apa lagi. Perkataannya barusan benar-benar membuatku terkejut.

“Terus kamu juga diam-diam berkelahi sama pacarnya dan temannya itu. Aku ‘kan sudah bilang jangan berkelahi lagi. Orang-orang tidak tahu malu seperti mereka lebih baik jangan didekati, jangan terus meladeni mereka! Tidak ada gunanya juga kamu berurusan terus sama mereka!”

Aku terdiam, lagi. Perkataan Desy barusan benar-benar membuatku takjub, sampai-sampai mulutku menganga mendengarnya. Memang salahku juga ‘sih saat itu diam-diam berkelahi dengan dua orang itu. Tapi mau bagaimana lagi, saat itu aku terpaksa melakukannya.

“A…aku minta maaf, Des.”

“Sudah, tidak perlu minta maaf. Aku mengerti situasi kamu sekarang.” Ukiran senyum mulai terpancar di bibirnya. Senyumnya begitu manis, seakan-akan mengurangi rasa beban yang kuhadapi sekarang. “Aku selalu berada di sampingmu. Kita sama-sama berjuang mempertahankan hubungan kita, dan mencari jalan keluar tentang masalah ini. Kita lakukan sama-sama.”

Seperti mendapat hadiah laptop baru dari nyokap, aku tercengang dengan kalimat-kalimat yang dilontarkan Desy. Kalimat-kalimat tersebut membuatku sedikit tenang, dan membuatku tersenyum sumringah mendengarnya. Memang hebat pacarku ini.

“Terima kasih, Des.”

Desy tersenyum. Dia menundukan badannya, lalu mendaratkan sebuah ciuman tepat ke keningku yang tertutup perban. Setelahnya dia menatapku dengan lembut, dan memberikan sebuah pelukan hangat ke sekujur tubuhku.

“Kamu tenang saja, kita hadapi bersama-sama.”

Malam ini pun kami habiskan dengan perbincangan hangat sambil diselingi tawa kami berdua. Rasanya semua bebanku berkurang dengan adanya Desy disini. Dia mampu menghiburku, dan membuatku merasa senang. Tanpa sadar, kami pun tertidur sambil berpelukan dengan hangatnya.

******

Pagi ini Desy mengajakku jalan-jalan ke suatu tempat. Entah tempat apa itu, yang jelas aku penasaran. Walaupun aku masih merasakan badanku yang sakit akibat perkelahian kemarin, aku masih kuat untuk memulai aktivitas pagi ini.

Desy sekarang sedang menyiapkan sarapan untuk kami berdua. Dua roti tawar dengan selai cokelat kesukaannya sudah tersaji di atas piring. Lalu ditambah lagi dua gelas putih hangat sebagai pelengkap. Benar-benar nikmat sarapannya.

“Des, mau jalan-jalan kemana sebenarnya?”

“Ada, deh. Sudah kamu ikut saja.” Desy menyuapkan roti tawarnya ke dalam mulutnya.

“Bikin penasaran saja, deh.”

“Hehehehe. Biarin. Wleee..” Desy menjulurkan lidahnya. “Pokoknya tempat itu sangat berkesan untuk kita berdua.”

Aku memajukan bibirku seperti bebek, dan menggembungkan pipiku seperti bakpao. “Iya, deh.”

Tak terasa sarapan sudah habis. Jam pun sudah menunjukkan pukul 7 lewat 12 menit, aku dan Desy mulai beranjak meninggalkan kos dan pergi menuju tempat yang dimaksud Desy. Tempat yang paling berkesan, katanya. Apakah tempat itu seperti taman dengan rumput hijau nan indah di sekelilingnya? Atau sebuah tempat hiburan seperti pasar malam? Entahlah. Aku ikuti saja kemana kaki ini melangkah mengikuti Desy.

Sebuah taman. Ya, kami sudah berada di sebuah taman dengan rumput-rumput hijau nan indah. Di tengah taman tersebut terdapat sebuah danau kecil dimana terdapat perahu dan berbagai macam burung bermain-main di tepian danau. Selain itu, di sekitar taman ini banyak orang yang melakukan aktivitasnya masing-masing. Ada yang jogging, bermain, atau duduk-duduk saja. Desy mengajakku untuk duduk di sebuah bangku taman yang menghadap ke arah danau. Aku bisa melihat pemandangan dari sini begitu sedap dipandang.

“Des, kita mau ngapain kesini?”

Desy senyum-senyum sendiri sambil menatapku. Aku membalas tatapannya penuh tanya.

“Kamu mau tahu kenapa aku ngajak kamu kesini?”

“Iya, Des. Memangnya kenapa?”

“Sebelum aku kasih tahu alasannya, aku pingin kamu dengar cerita aku dulu.”

Aku memiringkan kepalaku ke kiri. “Memang kamu mau cerita apa?”

“Aku mau cerita saat aku pertama kali bertemu denganmu.” Desy tersenyum tipis, lalu mulai bicara kembali. “Mungkin kamu sedikit lupa, makanya aku mau menceritakannya padamu.”

Aku menopangkan tanganku ke arah dagu, seperti pose berpikir. “Hmmm, baiklah, aku ingin mendengar ceritamu.”

“Jadi begini ceritanya…..”

~To be continued~

 

Oleh: Martinus Aryo

Twitter: @martinus_aryo

Satu tanggapan untuk “Janjiku Untuk Desy, Part11

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.