Minutes To Midnight : Creepy and Punishment

nnn

NB: konten mengandung gambar Disturbing

Suara cekikikan terdengar di penjuru rumah. Entah dari mana asalnya, yang jelas suara itu sungguh menakutkan untuk diterima oleh indra pendengaran. Tak banyak hal yang bisa dilakukan. Mereka terkurung di dalamnya. Terkurung bukan hanya di dalam rumah mereka sendiri tapi, terkurung oleh dimensi lain yang membawa mereka terus berada didalamnya tanpa ada orang lain yang mengetahui.

“Hihihihi…” suara kembali menggema. Namun, kali ini diikuti oleh sang pemilik tertawaan itu. Dengan posisi berlari kecil melintas di lantai dua dan melompat ke atas dengan cepatnya.

“Ikutlah…hihihihi…” kembali terdengar dan kembali tak terlihat.

“Kak, aku takut” sambil tubuhnya gemetar, Gracia memeluk sang kakak yang berada disampingnya.

“Tenang, dek. Kita pasti bisa lewatin ini”

Terdengar bunyi di mana-mana. Suara cekikikan yang berganti menjadi tangisan. Suara pintu dibanting dan suara seseorang yang tiba-tiba memanggil…. Nama Gracia.

“IKUTLAH !!!” suara tersebut berganti nada menjadi nada teriak kekesalan.

Dan salah satu pintu kamar di lantai dua terlempar jatuh dengan cepat ke arah Gracia dan Shani.

Tanaman Bunga bergoyang tertiup aliran udara. Daun dengan butiran, lelehan embun. Udara sekitar diselimuti asap halus menimbulkan hawa dingin. Sinar mentari mulai terlihat menyeruak keluar dengan malu-malunya.

Suara gemercik air terdengar memenuhi telinga. Kicauan burung mulai beraktivitas menyambut hari. Bagi sebagian orang berpikir “hari apa yang akan aku alami ?” kadang menjadi sebuah point awal dari hidup. Sesuai ataupun tidak kita harus jalani.

Hidup berpindah-pindah mungkin sudah terbiasa bagi keluarga ini. Bukan karna apa ? Lahir dalam sebuah keluarga gila pekerjaan mungkin alasan yang harus diterima.

“Nih sarapannya…” sambil memberikan piring berisi sarapan.

“Dihabisin. Makan nya jangan males-malesan” tambahnya.

“Masih ngantuk, kak. Lagian ini kan masih libur semester”

“Libur bukan berarti bisa males-malesan ya”

“Ah, kak Shani mah…”

“Wil, tolong bangunin Gre, gih. Tuh anak emang susah kalo disuruh bangun” ucap Shani meminta tolong pada Willy.

“Kok gue ?”

Tiupan angin lembut mengenai wajah Gracia. Ia terbangun sambil mengucek matanya. Kondisi kamarnya sepi. Hanya dia seorang dengan jendela terbuka.

“Krek!” pintu kamarnya dibuka dari luar. Perlahan seseorang masuk kedalam mendekat ke arah Gracia yang masih duduk diatas kasurnya.

“Mamah? Kapan mamah pulang ?” tanya nya diikuti gerakan meloncat dari tempat tidurnya dan memeluk sosok ibu yang penuh ke hagatan.

“Kok ibu pulang ga ngasih tau gre dulu sih, mah ?” sang ibu tersenyum hangat ke arah anaknya itu.

“Kan kejutan buat anak mamah yang manja ini” balasnya sambil mencolek hidung Gracia.

“Udah ah, kamu mandi dulu. Mamah tunggu dibawah”

“Siap, ibu komandan!” sejurus kemudian Gracia mengambil handuk dan masuk ke dalam kamar mandi.

Dengan menggerutu, Willy berjalan menaiki tangga ke lantai dua. Ia kesal. Baru saja ia akan memasukan suapan pertamanya, ia malah disuruh membangunkan Gracia.

“Bangun gre…” sempat dilakukanya bebrapa kali. Karna tak mendapat panggilan akhirnya Willy pun masuk ke dalam kamar.

Tak ada siapapun. Hanya tersisa sprei kasur dan selimut yang berantakan. Kemudian terdengar juga suara aliran air dari arah kamar mandi.

“Kamu lagi mandi, gre ?” tanya Willy.

“Iya, mah” jawab Gracia dari dalam.

“Mah ? Kenapa tuh anak ?”

“Ah, mungkin lagi ngigo sambil mandi” bingung Willy dan ia kembali ke lantai bawah.

Menuruni tangga dengan raut wajah sumringah, ceria. Gracia menuju ke arah dimana para saudaranya sedang menyantap sarapan. Dengan senyum, Gracia menerima piring berisi sarapan dari tangan kakaknya, Shani.

“Kenapa kamu dek ?” heran Shani.

“Mamah mana ? Kok ga keliatan” tanya balik Gracia tanpa menjawab pertanyaan kakaknya.

Mengerutkan dahi, “kamu ngelindur, dek ? Mamah kan masih di Bandung belum pulang”

Seketika senyum di bibirnya mulai terlihat kecut. Wajahnya mulai berubah. Gracia diantara bingung dan takut. Perasaan dirinya tadi bertemu mamahnya, bahkan beliau mengajak dirinya untuk bergegas mandi dan ikut sarapan. Tapi kenyataan, saat dirinya sampai di ruang bawah semua menganggap dirinya mengigau…

“Ini mimpi…” ucapnya dalam hati. Ia palingkan wajahnya ke arah kamarnya yang berada di lantai dua. Alangkah kagetnya. Terlihat sosok perempuan yang sangat mirip dengan mamahnya berdiri di depan tangga tersenyum. Namun, lagi-lagi hanya Gracia yang merasakan dan yang melihatnya.

Tangannya merogoh saku Jaket mengambil hp. Menggeser layar kunci dan mencari kontak yang akan dituju.

“Tuuutt… Tuuutt…” menunggu.

“Hai sayang” sapanya dibalik panggilan.

“Ini beneran mamah kan ?” tanya Gracia memastikan.

“Iyalah, ini mamah. Kamu kenapa sih, pagi-pagi kaya orang aneh gitu. Kangen mamah ya?”

Tanpa mendengarkan candaan mamahnya, Gracia mengalihkan pandangan nya kembali ke arah lantai dua. Dimana masih terdapat sosok perempuan mirip dengan mamahnya dan masih dalam posisi tersenyum ke arahnya. Karna dirinya merasa takut, Gracia memutuskan panggilan tanpa mendengar sedari tadi mamahnya selalu memanggil nama dirinya.

“Kamu kenapa ?” tanya Willy duduk disampingnya.

Menggeleng. Hanya balasan itu yang Willy dapat dari pertanyaan nya ke arah Gracia. Gracia meletakan Hp dan mulai mentantap sarapannya namun, terlihat pandangan nya kosong seperti dipecah konsentrasi nya. Entah oleh masalah apa. Willy yang memperhatikan nya sedari tadi tak mau ambil pusing. Ia kembali memakan sarapannya juga.

Siang Hari, pukul 14.15

Di ruang keluarga terdapat Shani dan Willy tengah menonton acara disalah satu stasiun televisi swasta. Sedari tadi, hanya obrolan ringan yang mereka ciptakan untuk menghilangkan bosan. Hingga Willy membahas apa yang ia rasakan terhadap perubahan sifat sepupunya, Gracia pada Shani yang notabene sebagai kakak kandung dari Gracia.

“Akhir-akhir ini, gue lihat ada yang aneh sama Gre deh” celetuk Willy.

Shani menatap Willy. Tak berapa lama ia kembali mengalihkan pandangnya ke arah televisi. Mengambil nafas dan membuangnya.

“Iya. Aku rasa juga gitu”

“Gre dimana?” lanjut Shani.

“Tadi pas gue ambil minum di dapur sih gue lihat dia lagi duduk di taman belakang. Melamun”

“Aku jadi khawatir sama tuh anak. Aku samperin dulu ya, wil” Willy mengangguk dan Shani bangkit dari duduknya berjalan menghampiri Gracia.

Malam kali ini tak jauh beda dengan malam sebelumunya. Malam ini, Ido dan Anin menginap dirumah saudaranya yang lain karna suatu keperluan. Gracia masih terjaga diatas tempat tidurnya sehabis berbicara bersama mamahnya lewat panggilan telpon. Tak banyak hal yang ia lakukan saat membuang rasa bosan karna tak dapat memejamkan mata. Memandang langit-langit kamar. Tak lama ia pun merasa haus dan berniat keluar mengambil minum di lantai bawah.

“Haaahhh…” suara lega Gracia bisa membasahi kembali tenggorokannya.

“Anin sama kak Ido ga pulang. Kak Willy sama kak Shani kayaknya udah tidur. Tinggal aku sendiri yang masih melek gini” gerutunya.

Gracia memutuskan kembali lagi ke kamarnya namun, baru akan menginjak anak tangga pertama, Hp nya berdering. Ia merogoh kantong saku celana pendeknya.

“Pesan masuk. Mamah”

Kemudian ia membuka isi pesan tersebut dan lagi-lagi hal yang membingungkan dan membuat bulu kuduk berdiri terjadi. Isi pesan yang Gracia baca tak tepat dengan apa yang ia alami.

“Malam sayang. Pasti udah tidur ya ? Maaf ya kalo mamah ganggu tidur kamu. Mamah cuma mau ngasih kabar kalau mamah baru bisa pulang minggu depan dan maaf, mamah baru bisa kabarin kamu malam-malam gini. Maaf juga hari ini mamah belum telpon kamu sama sekali. Sekali lagi selamat malam, tidur yang nyenyak ya, anak manja mamah”

“Deg!”

Saat itu juga dirinya tak sengaja melihat kearah Jendela samping pintu. Kondisi gorden tak tertutup dengan berada sosok perempuan diluar Jendela sedang melambai lambaikan tangannya sambil tersenyum kearah Gracia. Setelahnya, perempuan itu menunjuk pintu memberi kode saraya memberitahu Gracia untuk membukanya. Namun, Gracia yang sudah terlanjur takut malah berlari ke kamarnya. Dari lantai atas Gracia dengan jelas mendengar suara perempuan itu tertawa cekikikan di bawah

Gracia menutup pintu kamarnya dengan keras, sehingga Shani yang tertidur terbangun.

“Siapa sih yang nutup pintu keras jam segini ?” gerutu Shani sambil menguap.

Gracia naik ke atas kasurnya dan menutupi seluruh tubuh dengan selimut. Bersembunyi di dalamnya. Hening. Itulah yang ia rasakan setelah didalam selimutnya. Saat ia menggeser tubuhnya, ia merasakan ada sesuatu disebelahnya. Berada satu dengan selimut yang ia pakai. Karna kondisi didalam selimut gelap, Gracia menyalakan Hp nya dan… Ia mendapati sosok dirinya tersenyum ke arahnya.

“Wil, bangun!” seru Shani sambil mengetuk pintu kamar Willy.

Tak lama, Willy membuka pintu. “Ada apa sih ?”

“Tadi kamu yang nutup pintu?”

“Ngigo lu? Lu kan tau sendiri gue lagi tidur. Bangun juga gara-gara lu bangunin”

“Oh, yaudah maaf kalo ganggu. Silahkan lanjutin tidurnya lagi” lalu Willy menutup kembali pintu kamarnya.

Shani berjalan menuju kamar adiknya, Gracia. Sama dengan hal yang ia lakukan pada Willy. Ia mengetuk pintu kamar Gracia namun, beberapa kali tak ada sautan dari si pemilik. Shani memutar Handle pintu dan kedapati tak terkunci. Shani masuk ke dalam. Terlihat di kedua bola matanya, Gracia sedang berada di dalam selimut.

“Dek…dek…” panggil Shani lirih sambil menggoyang pelan tubuh Gracia.

Gracia membuka selimutnya. Sebelum Shani berbicara kembali, Gracia menarik tangan Shani ke arahnya dan membisikan sesuatu.

“Kak, aku takut…” bisiknya.

“Kamu takut kenapa, dek? Tenang, disini udah ada kakak jangan takut”

“Tapi kak, aku takut”

Shani menghela nafas. “Coba ngomong sama kakak, apa yang kamu takutin. Kalo kamu ga mau ngomong juga ga papa kok dan kakak juga bisa temenin kamu tidur malam ini” ucap Shani sambil mengelus rambut Gracia.

“Kak, aku boleh minta tolong ga?” ucap Gracia.

“Apapun. Mau minum?” tanya Shani. Gracia menggeleng.

“Aku minta tolong, kak. Coba lihat apa dibawah tempat tidurku ada aku”

Shani mengerutkan dahinya saat mendengar ucapan Gracia.

“Ngaco kamu dek. Ya ga ada lah. Mending kamu tidur lagi deh, mungkin kamu lagi banyak pikiran”

“Kak” rengeknya.

“Iya, iya kakak liat…” Shani menuruti permintaan adiknya tersebut.

Shani memposisikan tubuhnya melihat ke arah bawah tempat tidur Gracia.

“Tuh kan, ga a…”

“Kak, tolong lihat ke atas tempat tidur aku. Diatasku apa ada aku?”

Shani kaget melihat Gracia juga ada dibawah ranjang. Shani saat itu juga ikutan takut. Bingung dengan apa yang akan ia lakukan. Dengan suara pelan bergetar, Gracia mengajak Shani untuk segera keluar dari kamar. Sekali lagi Shani mencoba melihat ke arah atas ranjang. Dengan perlahan kepala Gracia mulai terlihat. Terus menaikan kepala Shani. Kini telah jelas dihadapannya sosok mirip Gracia tengah terduduk diatas kasur dengan senyum yang mengembang. Sebuah senyum lebar yang terkesan mengerikan. Shani memegang erat Tangan Gracia yang dibawah dan, Shani langsung mengajak Gracia lari meninggalkan kamar.

Bahkan, setelah mereka keluar dari dalan kamar. Sosok tersebut masih terduduk diatas tempat tidur. Mengembangkan sebuah senyum, senyum yang tak lazim dari biasanya. Dengan sudut bibir yang tertarik panjang dan terkesan dingin dan mengerikan. Dirinya terdengar sambil mengucapkan suatu kalimat lirih. “Ikutlah…” dan sepersekian detik setelahnya, ia berdiri kemudian berjalan mengitari ruang kamar dengan gerakan seolah-olah menari kecil, riang tapi terkesan membuat bulu kuduk berdiri. Terus berjalan dan berjalan, hingga ia berlari kencang ke arah tembok dan menghilang disana.

Bersama Gracia, Shani berlari menuruni anak tangga menuju pintu utama rumah. Shani terus menggenggam tangan Gracia. Baik Shani maupun Gracia, tangan mereka sama-sama terasa dingin akibat hal takut yang mereka rasakan. Tetapi, Shani merasa suhu tubuh pada Gracia jauh lebih rendah daripada dirinya. Tangan Gracia terasa amat dingin.

Mereka tiba tepat didepan pintu utama. Shani mencoba membuka beberapa kali namun, hasil yang sama masih didapat. Pintu tak dapat ia buka.

“Pintunya ga mau kebuka, dek” ucap Shani dengan nada bergetar.

“Pake kunci, kak” ucapnya sambil mengulurkan sebuah kunci kesamping kepala Shani.

Shani menerimanya. Hingga ia baru tersadar. Shani terdiam setelah menerima kunci pintu. Tangan Gracia masih berada disamping kepalanya. Tangan tersebut terlihat pucat dengan kuku lumayan panjang. Shani mulai menangis. Rasa gemetar yang yang ada semakin menjadi. Jantungnya terasa semakin berdetak lebih keras dari sebelumnya.

“Kak, kenapa diam ? Ada apa dengan tanganku?” ucapnya.

Shani mencoba memberanikan diri dengan membalikan badanya menghadap ke arah Gracia, namun dengan memejamkan matanya. Posisi kini telah berhadapan, Shani mulai membuka matanya dengan perlahan. Bukan Gracia yang ia lihat. Melainkan sosok perempuan dengan rambut panjang menunduk. Shani tertawa singkat dan diikuti tangisan pelannya. Air mata mulai menetes. Shani mencoba menyingkirkan tangan tersebut dari samping kepalanya namun, apa yang ia dapat malah membuat terkejut dan tak sadarkan diri.

Saat Shani mencoba menyingkirkan. Sosok tersebut mengangkat wajahnya, terlihat senyuman yang mengembang tersenyum ke arah Shani. Tanpa disangka Shani terlempar ke arah pintu. “BRAK!!” akibat hantaman tubuhnya yang terbilang cukup keras, Shani tergeletak dilantai depan pintu utama rumahnya.

Pagi hari tiba.

Didalam alam bawah sadarnya, Shani merasakan tubuhnya digoyang-goyongkan dan terdengar seseorang memanggil namanya. Suara pelan dan samar-samar. Shani tersadar masih diposisi semalam dengan Gracia telah berada didepannya sambil memanggil namanya. Terlihat Willy datang menghampiri dengan segelas air bening ditangan kanan nya.

Shani bergerak mundur. Tapi langsung ditahan oleh Willy. Sambil memeluknya dari samping. Gracia menagis tersedu dan menutupnya dengan kedua telapak tangannya.

“Tenangin diri kamu, shan. Dia Gracia yang asli, adikmu sendiri” ucap Willy menenangkan.

“Jangan takut lagi” imbuhnya.

Shani terdiam sesaat memandang Gracia. Tak lama ia pun langsung menyerang tubuh Gracia dengan pelukan eratnya. Mereka saling menangis dalam pelukan.

Setelah semua dirasa mulai tenang dan suasana mulai mendukung. Diruang keluarga Gracia mulai berbicara apa yang menjadi tebakannya. Sebuah sebab dari rangkaian kejadian yang terjadi pada dirinya maupun yang lain.

“Kak. Apa kakak ingat pas kejadian malam itu ? Kejadian dirumah kita yang dulu pas gre nemuin kakak dalam kondisi tidur di sofa ruang tamu”

Shani menggelengkan kepalanya.

Menarik nafas. “Malam itu sebelum gre nemuin kakak. Gre sangat ketakutan didalam kamar. Apa yang gre dengar dan rasakan sungguh tak membuat nyaman. Bahkan yang gre bisa dengar hanya suara detak Jantung gre sendiri yang terdengar semakin keras. Apa kakak dan kak Willy tau apa yang terjadi saat itu?” Gracia bercerita sambil memandang bergantian ke arah Shani dan Willy.

Shani, Willy saling berpandangan. Tatapan mereka bertemu dan mereka kembali memandang ke arah Gracia sambil menggeleng pelan dengan bersamaan.

(FLASHBACK)

Dengan suara detak Jantung, air hujan yang turun dengan deras dan suara tangisan yang ditahan. Gracia terbaring lemas. Ya, terbaring lemas di atas paha seseorang. Seseorang?

Dengan posisi tidur menyamping, Gracia dengan sangat bisa merasakan rambutnya terasa dibelai dan telinganya mendengar suara nyanyian dengan nada lirih yang terkesan membuat merinding. Hanya menangis yang saat itu ia bisa lakukan. Tubuhnya seakan mati rasa saat mencoba bangkit untuk berlari. Berulang kali memanggil lirih nama “kak Shani” berharap kakaknya bisa lekas datang untuk segera membawanya keluar. Namun, semua hanya sebuah harapan. Shani tak kunjung datang akibat suara Gracia yang terlalu kecil untuk diterima pendengaran.

“Jangan menangis… Tidurlah sayangku…. Tidurlah di paha Ibumu…”

“Cepatlah berhenti…” batin Gracia ketakutan.

Kemudian terdengar kembali suara nyanyian tapi kali ini entah apa yang dia nyanyikan. Dari lagu, nada, Gracia sama sekali tak mengerti. Belaian tangan di rambut Gracia semakin intens. Sementara dia terus bernyanyi dengan gelagat seolah-olah anak yang sedang ia baringkan dengan nyanyiannya adalah sosok anaknya. Lagu berhenti. Hanya hening yang Gracia tangkap dan belaian di rambutnya berhenti tapi, ia masih bisa merasakan bahwa dirinya masih tertidur dipaha seseorang yang sama sekali tak ia kenal.

Kemudian bersuara. “Tidur…” ucapnya lirih. Gracia menggeleng. Kata-kata “tidur” terus diucapkannya tapi Gracia selalu memberi respon yang sama dengan menggelengkan kepala tanpa bersuara.

“Dasar anak nakal !!” tiba-tiba nadanya meninggi yang membuat Gracia kaget bercampur takut. Namun, bukan sampai disitu kaget yang Gracia rasakan. Setelah bentakan yang Gracia dapat. Dirinya dengan cepat dilempar ke arah pintu mengakibatkan suara yang cukup keras. Dengan jelas Gracia melihat sosok tersebut turun dari tempat tidur dan terdengar juga samar-samar…

“Tidur ya….”

Gracia mencoba bangkit dan berlari keluar kamar menuju lantai bawah. Jikan Gracia menolehkan pandangan nya ke belakang saat berlari, maka dirinya dapat melihat sosok tersebut berlari kecil dengan gerakan tubuh dan tangan bak Ondel-ondel yang mencerminkan ciri khas dari makhluk Kuntilanak.

(FLASHBACK OFF)

“Setelah gre lari ke lantai bawah, gre nemuin kakak lagi tidur di sofa dan kakak mungkin juga masih ingat. Setelahnya pas kita lihat ke lantai dua juga ada sosok itu yang melintas” ucap Gracia menjelaskan.

“Tapi apa hubungan nya ?” tanya Shani yang masih belum mengerti inti utama dari penjelasan adiknya, Gracia.

Gracia menarik nafas pelan dan mulai merogoh saku Jaketnya. “Sebelum gre benar-benar terlempar, gre sempat memegang sesuatu berharap dapat menahan tubuh gre saat akan dilempar tapi, apa yang gre raih saat itu bukanlah hal tang tepat. Gre memegang ini…” gre membuka kepalan tangannya dan menunjukan kepada Shani dan Willy.

“Ya, itu sebuah Liontin. Saat tubuh gre terlempar ke arah pintu dan Liontin ini pun ikut tertarik dan terlepas dari pemiliknya”

“Apa jangan-jangan Liontin ini penyebab dari semua hal yang terjadi malam ini?” ucap Willy menebak.

“Mungkin. Bisa jadi, kak” balas Gracia.

“Kriet…BRAK!!” terdengar suara bantingan pintu pada ruang belakang. Tak lama terlihat bayangan dua sosok mendekat ke arah mereka. Semakin lama semakin jelas dan…

Di atap balkon rumah terlihat seseorang duduk dengan santai nya di tepian sambil menjuntaikan kakinya dan mengayunkan nya. Sambil tersenyum dan pandangan kosong lurus ke depan. Hanya dia dan tersenyum. Padangan kosongnya berpindah ke arah bawah. Sosok tersebut masih tersenyum, namun kali ini di iringi cekikikan “hihihihi….” dan menjatuhkan tubuhnya ke bawah.

“Pasti udah pada tidur, kak”

“Tidur pada kaya Kebo. Dipanggil ga ada yang nyaut satupun. Di telepon ga ada yang angkat juga”

“Sabar, kak. Kita lewat pintu belakang aja”

“Mau dobrak ?”

“Ya, ga lah. Anin kan bawa kunci cadangannya”

“Mantap Jiwa”

Saat itu Anin bereng Ido baru pulang dari urusannya. Mereka pulang larut malam dan saat pulang pintu rumah telah terkunci rapat dengan penghuni di dalamnya yang tak menyahut satupun. Mereka akhirnya berjalan ke arah pintu belakng, pintu dapur. Saat terjadi percakapan kecil, lebih tepatnya setelah Ido mengucapkan balasan terakhir. Anin melihat ke arah Ido berniat untuk membanggakan diri karna telah membawa kunci cadangan namun, saat dirinya menoleh ke arah Ido dengan jelas Anin melihat seseorang berbaju putih menjatuhkan dirinya dari balkon depan.

Anin yang tadinya tersenyum langsung diam dengan raut muka pucat dan membalikan badannya kembali. Ido yang heran bertanya namun Anin menjawab, “kak Ido, ayo cepet masuk” Ido yang bingung dengan perubahan sifat sepupunya Anin kemudian ikut menoleh kebelakang. Tak ada apapun. Pandangannya merata ke arah atas pohon dan… “Anjir…” dengan sangat jelas Ido dapat melihat sosok perempuan berbaju putih panjang sedang mengayunkan kakinya yang tertutup kain putih sedang duduk diatas pohon.

“Gue setuju sama lu buat cepet masuk ke rumah, nin” Anin yang diam sedari tadi malah di tarik Ido untuk berjalan cepat. Baru beberapa langkah suara cekikikan terdengar. Hal tersebut membuat keduanya panik dan berlari. Ido yang ketakutan lari terlebih dahulu meninggalkan Anin di belakang.

Ido dan Anin telah masuk ke dalam rumah dengan perasaan takut. Terlihat Willy, Gracia beserta Shani tengah berkumpul di ruang keluarga. Mereka mendekat.

“Ah kalian, gue kira siapa. Bikin takut aja” ucap Willy saat mengetahui dua soaok yang mendekat adalah Anin dan Ido.

“Di luar… Di luar tadi gue sama Anin liat ada Kuntilanak” ucap Ido.

“Kalian lihat juga?” tanya Shani.

“Iyalah, kalo kita ga liat ngapain kita masuk pake acara banting pintu. Takut woi”

“Ga usah nge’gas juga kali, kak” ucap Gracia.

“Tok…tok…tok…” saat mereka telah berkumpul di ruang keluarga. Terdengar suara ketukan pintu pada bagian dapur. Semua melihat ke arah suara namun, hal itu membuat horor lainnya adalah Jendela samping yang berada di ruangan mereka berada. Sosok bayangan hitam dengan pelan melintas dibalik jendela. Sosok bayangan muncul bersama hilangnya suara ketukan pintu.

“Pengen buang air kecil” Anin berucap sambil menyilangkan kedua kakinya.

“Kamar mandi gih” ucap Shani.

“Tapi Anin takut, kak”

“Udah, ga usah takut. Lagian ga bakal ada apa-apa kok”

Anin yang tak kuat lagi akhirnya memaksakan diri berjalan sendiri menuju kamar mandi. Hawa sunyi menerpa sekelilingnya. Anin mulai memutar pegangan pintu dan masuk ke dalamnya. Terdapat dua ruangan di dalam. Ruang mandi dan ruang untuk hal darurat (tau lah). Anin mulai membuka celana nya, mulai berjongkok. Tak beberapa lama, suara langkah kaki. Bukan langkah kaki tapi lebih mirip suara sesutu yang diseret “sret…sret…” Anin berpikir, bukan lah tadi ia hanya berjalan masuk sendiri tanpa ada yang menemani nya ? Jika terlalu dipikir hal itu hanya akan membuat suasana negatif. Ia kemudian berpikir bahwa itu adalah kak Shani, Gracia atau yang lain.

“Apa itu kakak?” Anin mencoba memastikan, namun tak ada respon.

Suara “ngiiik” terdengar. Kelambu plastik tempat mandi di ruangan sebelah terdengar digeser. “Tap tap tap” terdengar kembali suara langkah kaki orang merangkak. Kali ini bukanlah suara dari luar melainkan dari… Atasnya. Anin dengan perlahan menatap langit-langit atap namun apa yang ia lihat hanyalah platfon rumah. Tak ada apapun. Anin menyelesaikan urusannya dan keluar. Sambil membasuh muka di wastafel, terdengar suara “ngiik” kembali. Dengan cepat Anin melihat ke arah kaca rias di depannya. Terlihat sosok di pojok ruangan berdiri diam membelakangi Anin. Jantungnya serasa memukul-mukul dada. Nafasnya tak karuan seperti orang sehabis berlari dan tubuhnya gemetar. Hal yang bisa ia lakukan hanyalah harus segera pergi dari tempat itu.

Saat berjalan keluar dari kamar mandi. Jendela yang tadinya tertutup gorden kini telah terbuka membuat langkah Anin mendekat untuk menutupnya kembali. Terlihat sumur tua yang terdapat disamping rumahnya. Anin menatapnya dan suara orang tertawa terdengar “hahahaha” bulu kuduk Anin kini kembali berdiri. Suara tersebut bersumber dari wanita bergaun putih atau sosok Kuntilanak yang berjalan dengan cepat namun dengan langkah yang pendek. Berjalan ke arah sumur tua. Sambil cekikikan sosok tersebut menoleh ke arah Anin yang sedang menatapnya sambil tersenyum lebar dan terbang melesat dari satu tempat ke tempat lainnya sambil menyeret gaunnya yang panjang. Terbangnya sosok putih tersebut bersamaan dengan listrik rumah yang padam. Anin berlari menjauh.

Sementara itu, saat Anin berusaha berlari ke arah anggota keluarganya yang lain. Shani bersama Ido berada di kamar alat perkakas mencari beberapa senter beserta lilin untuk penerangan akibat ruangan yang gelap akibat listrik padam. Bermodalkan barang pertamanya berupa senter Hp yang Ido bawa, mereka mulai mencari dari kotak satu ke kotak lainnya.

“Pas nih ada lima senter, Shan” ucap Ido sambil menggoyangkan cahaya senter Hp nya ke arah Shani yang sedang sibuk jongkok mencari.

“Sukur deh. Ini aku juga dapet tiga lilin sama satu Lentera”

Ido mematikan senter Hp nya dan menyalakan senter yang ia dapat. Memberikan satu juga untuk Shani. “Kriet” saat mereka keluar kamar alat perkakas. Ido sedang mengunci pintu kamar kembali. Terdengar seperti suara lantai kayu terlepas yang di injak. Disebelah Shani lorong menuju gudang lantai satu. Keadaan gelap gulita menambah kesan tak mengenakan. “Krieet” suara kembali terdengar dan semakin dekat. Ido pun ikut mendengar. Mereka berdiri bersebelahan dan mulai mengarahkan cahaya senter mereka ke depan, arah lorong gudang.

Sosok wanita paruh baya terlihat duduk diatas kursi goyang di pojok lorong dengan ditangannya terdapat sebuah boneka sedang dilepas kulit boneka nya. Menimbulkan kapas isi yang hanya terlihat. Bergoyang ke depan dan kebelakang menimbulkan bunyi. Baik Shani maupun Ido mulai gemetar dalam mengarahkan senternya. Sosok wanita tersebut berhenti dari aktifitasnya, berdiam diri bebrapa saat dan menoleh ke arah Shani dan Ido, “kalian harus dihukum…” disusul nada ucapannya yang menakutkan. Shani dan Ido berlari ketakutan. “Hihihihi…” tawanya mengembang, berdiri dan menari girang berputar mengeliling di lorong itu. Tangannya bergerak bebas mengikuti irama. Seperti yang dikata, gerakan khas Kuntilanak.

Shani bersama Ido kembali tak bereselang waktu lama setelah Anin. Tanpa memberitahu apa yang telah mereka lihat, mereka berperilaku seperti tak terjadi apa-apa. Karna takutnya jika diceritakan maka suasana akan kembali semakin tak karuan. Dengan tiga Lilin yang Shani bawa, mereka membakar sumbunya. Masing-masing anak diberi satu senter sesuai jumlah senter dan jumlah anak yang ada. Setelah semua dirasa tak ada gangguan lagi, mereka mulai tertidur di sofa ruang keluarga.

Gracia terbaring di atas sofa bersebelahan dengan Shani di malam yang gelap dan sunyi. Gracia hanya membolak-balikkan badan di atas sofa mencoba mencari posisi yang nyaman baginya untuk tidur. Tubuh dan pikiran sudah sangat lelah, namun entah mengapa, ia tetap tak kunjung bisa tidur. Ada sesuatu tentang malam ini yang membuatnya merasa sama sekali tak nyaman. Ia terus berguling di tempatnya, mendesak sana-sini. Hingga akhirnya menemukan posisi yang cukup enak untuknya terlelap.

Gracia menutup mata, namun tak ada perbedaan. Terlalu gelap di dalam sini padahal terdapat tiga cahaya Lilin yang menyala untuk bisa melihat sesuatu. Jadi butuh waktu bagi matanya untuk terbiasa dengan kegelapan. Gracia terbaring di sana, tak bergerak, di tengah malam yang hitam pekat. Tubuh mulai rileks dan pikiran kosong nya mulai tertolong. Gracia benar-benar siap untuk istirahat. Namun kesunyian itu seketika musnah dan benaknya langsung dibanjiri dengan bayangan menakutkan ketika suara itu terdengar kembali. Sebuah suara tak ia suka.

“Tok … tok …”

Tak diragukan lagi itu adalah suara sesuatu mengetuk jendela kaca. Tapi tidak, tidak mungkin ada orang yang mengetuk jendela kamar dari luar! Siapa orang yang hendak membangunkan malam-malam begini? Berpikirlah dengan logis. Jika seseorang ingin mencuri di rumahku, mengapa ia terlebih dahulu mengetuk jendela? Mereka cukup menyelinap masuk ke dalam rumah dengan sehening mungkin. Mustahil mereka mengetuk!

(GRACIA POV)

Tak ada monster di dunia ini. Aku bisa saja menengok ke arah jendela agar membuat hatiku sedikit tenang, namun aku menghadap ke arah yang berlawanan dari jendela Dan jujur, aku takut akan melihat hal yang paling aku takutkan berdiri di luar jendela, memandangiku. Namun, apa itu? Apa mungkin itu hanya burung yang terbang menabrak jendela? Tidak, itu sama sekali tidak realistis. Apakah mungkin ada sekelompok anak yang mengerjaiku malam-malam begini, mengetuk jendela dari luar sambil tertawa terpingkal-pingkal? Mungkin saja? Pe’a ! Itu kurang kerjaan. Atau bahkan mungkin ini semua hanya imajinasiku? Mungkin aku mendengar suara angin di luar dan mengasumsikannya sebagai suara ketukan di jendela?

“Tok … tok ….”

Tidak, itu jelas bukan imajinasiku! Anak-anak sial itu benar-benar keras kepala. Mereka tidak mau berhenti hingga melihatku bangun karena gusar. Mungkin anak-anak dengan selera humor yang sedikit sakit itu sedang menungguku di luar. Mungkin mereka akan memecahkan kaca jendela dan menyerangku. Tidak! Jangan menjadi paranoid seperti ini! Lagipula, mereka di luar, dan aku di dalam. Hingga aku mendengar suara kaca jendela pecah, aku aman. Monster itu tidak ada. Lagipula, aku belum bergerak sama sekali. Mungkin saja anak-anak itu menganggap aku sudah tertidur lelap dan akan meninggalkanku sendiri.

“Tok … tok …”

Oh Tuhan! Aku tak bisa memikirkan suara lain yang lebih kubenci di dunia ini selain suara ketukan di kaca jendela itu! Kumohon pergilah! Biarkan aku sendiri! Sekarang tidak ada harapan. Ia akan masuk ke sini cepat atau lambat dan melakukan hal mengerikan terhadapku. Ambil napas dalam-dalam. Lalu hembuskan pelan-pelan. Aku merasakan detak jantung di dalam dadaku mulai bersantai. Monster itu tidak ada. Ingat, mereka ada di luar. Aku di dalam. Hingga aku mendengar suara kaca jendela pecah, aku aman. Ulangi itu! Jangan biarkan ketakutan menguasaimu! Berpura-puralah tidur dan jangan bergerak sedikitpun.

“Tok … tok ….”

Mereka di luar, aku di dalam. Hingga aku mendengar suara kaca jendela pecah, aku tahu aku aman. Monster itu tidak ada. Berpura-puralah tidur dan berdoalah agar ia segera pergi. Dan semoga itu bukan sosok nya.

“Tok … tok ….”

AKU TAK SANGGUP LAGI! Aku bisa menjadi gila apabila aku terus mendengar suara ketukan ini. Paling tidak jika aku melihat apa yang menyebabkan suara itu, aku akan menjadi sedikit tenang. Ambil napas dalam-dalam, aku mengulanginya untuk sekali lagi, “Mereka di luar, aku di dalam. Hingga aku mendengar suara kaca jendela pecah, aku tahu aku aman.” Aku mengambil beberapa napas dalam lagi, jantungku berdetak amat kencang hingga aku serasa bisa mendengarnya. Aku perlahan menoleh ke arah jendela.

Jantungku terasa berhenti berdetak dan aku terlalu takut untuk mengeluarkan suara jeritan. Aku menoleh hanya untuk menemukan sesosok wajah pucat, berbaju putih dengan mata hitam kelam menatapku tajam, seakan menelanjangi jiwaku, sambil tersenyum bengis. Selama ini makhluk itu sudah berada di ruangan ini, sambil mengetuk-ngetuk kaca jendelaku dari dalam. Ya, dia… Dia sosok wanita berbaju putih itu.

(GRACIA POV END)

“Oke, ini jelas tak baik. Tetap diam dan pejamkan matamu gre” batin Gracia mencoba mensugesti dirinya sendiri.

Sosok wanita tersebut berdiri diam dengan senyumnua tak jauh dari tempat Gracia beserta lainnya berada. Namun, hanya Gracia saja lah yang masih belum tidur. Hanya ia sendiri yang merasakan ketakutan sedangkan yang lain telah terhibur dengan mimpinya dan melupakan sejenak kejadian yang ada. Hanya dirinya yang terpejam dalam takut, sedangkan yang lain terpejam dalam tidur.

Gracia bangun dari rebahan di atas sofa. Berdiri memandang sekitar. Di karpet bawah terdapat Willy dan Ido sedangkan di bagian sofa terdapat Shani, Anin dan… Dirinya sendiri ? Ya. Gracia melihat dengan jelas bahwa dirinya sedang tertidur di sofa.

Terdiam ke arah dirinya yang lain dengan mata membulat. Beberapa saat Gracia mencoba menenangkan kondisi psikisnya. Ia berjalan mengitari tempat para saudaranya tertidur, namun pandangannya masih terfokus ke tubuhnya. Beberapa putaran telah Gracia lakukan dan akhirnya ia kembali terdiam. Hembusan hawa dingin angin malam masih bisa ia rasakan pada kulit tubuhnya. Tak lama berselang terdengar suara gaduh dari mana asalnya, lumayan keras. Namun, tak dari satupun saudara-saudaranya yang bergeming dari posisi tidurnya. Hanya dia yang mendengar ? Dengan langkahnya, ia paksakan mengikuti arah gaduh tersebut. Lagi-lagi sesuatu berhasil menghentikan langkahnya kembali. Pandangannya menangkap sosok wanita yang sama sekali tak ia kenal. Posisi wanita tersebut juga membelakangi Gracia.

“Hei…” panggil Gracia lirih.

Tak ada sautan. Tapi, dengan perlahan wanita itu menoleh ke arahnya. Berputar dan berputar kepala si wanita itu. Hingga putaran kepalanya menjadi 180 derajat. Senyuman menyeringai tergambar jelas. Seluruh badan Gracia gemetar. Keringat dingin mulai ia rasakan akan keluar. Di pikirannya hanya semua mimpi buruk akan segera berakhir dan tak akan pernah kembali lagi.

“Kalian akan merasakannya” ucapnya dengan nada lirih sendu.

Wanita bergaun putih panjang tersebut berjalan menyamping menjauh dari pandangan Gracia dengan menyeret bajunya namun dalam posisi tubuhnya mengambang. Sosok tersebut menghilang menembus tembok. Sementara pandangan Gracia mulai menghitam dan setelahnya, tanpa ia ketahui lagi apa yang terjadi pada dirinya dan ada hal apa lagi yang ada disekelilingnya. Hanya gelap dan sunyi dan tak sadar sepenuhnya.

Sekitar setengah jam setelah kejadian yang Gracia alami saat keluar dari tubuhnya sendiri telah usai. Shani terbangun, ntah oleh hal apa yang membuatnya bangun. Setelah terbuka matanya dan terjaga beberapa menit, Shani merasa ada hawa yang aneh di sekitar nya, perasaan nya menjadi tak karuan, merinding.

Beberapa saat kemudian dengan jelas Shani mendengar suara orang turun dari anak tangga. Suara langkah kaki yang memakai sepatu. Pikiran Shani kemana-mana karena ga mungkin ada orang turun dari tangga malem-malam, lagian bisa di lihat dengan jelas oleh Shani semua saudaranya ada di sekitarnya. Shani menurunkan kakinya dengan perlahan dari atas Sofa takut membangunkan yang lain. Dengan paksakan rasa takutnya Shani mencoba melihat siapa orang tersebut. Karena rasa penasaran juga bisa mengalahkan ketakutan nya. Saat Shani sampai didepan anak tangga namun dalam posisi berdirinya yang jauh ia sama sekali tak melihat siapapun disana, tapi setelah Shani akan berbalik ke Sofa suara orang turun dari tangga ada lagi sampai beberapa kali. Shani tak menghiraukannya dan terus berjalan dalam tempo pelan.

Langkah Shani yang tadi tak menghiraukan langkah kaki di tangga malah menimbulkan suara lainya. Dari sofa Shani telah kembali. Kucuran air seperti orang mandi terdengar dari arah Kamar Mandi. Pikiran pun kembali tak karuan sampai sampai tubuh Shani berkeringat dingin. Shani mencoba untuk tertidur kembali. Shani menutup muka dengan Bantal Sofa karena takut. Beberapa saat kemudian malah bantal yang Shani pakai terasa ada yang menarik-nariknya. Akhirnya bantal yang Shani pakai untuk menutup mukanya terlepas. Sontak juga pandangan Shani langsung menangkap pemandangan yang sama sekali tak mengenakan. Sungguh tak mengenakan. Dengan jelas dapat Shani lihat wajah cewek tak jauh dari posisinya. Mengambang atau melayang diatas Shani terbaring, sebuah cewek dengan wajah yang terkelupas mengucurkan darah dari wajahnya menetesi pipi Shani. Aneh nya Shani sama sekali tak bisa teriak dan bergerak pun tak bisa ia lakukan. Cewek tersebut malah tertawa cekikikan sambil ngeliatin Shani dengan tatapan tajam. Shani diam memandang balik, saling tatap. Hingga cewek tersebut jatuh ambruk ke atas tubuh Shani dan Shani kembali tak tau apa lagi yang terjadi.

Awan putih mulai terlihat menggumpal dilangit pagi. Dengan menggeliat Shani, Gracia, Anin, Ido dan Willy mulai terbangun dari tidurnya. Setelah terbangun mereka melakukan kegiatan pagi seolah tak pernah terjadi apa-apa pada malamnya. Mereka kembali ke kamar masing-masing untuk membersihkan diri. Setelahnya, Shani berjalan ke arah dapur dan membuat sarapan.

Posisi Matahari kian meninggi. Terlihat sebuah mobil (Jangan sebut Merk) dengan warna Hitam meluncur keluar dari kota menerobos hutan Pinus yang lebat disepanjang jalan yang sepi. Hanya sesekali beberapa mobil lainnya terlihat berpapasan maupun searah jalannya. Didalam mobil Hitam tersebut terdapat Anin dan Ido. Mereka berniat menuju salah satu Paranormal yang telah diberitahukan warga sekitar tadi pagi. Menurut warga yang tau, Paranormal tersebut mungkin bisa membantu masalah yang sedang dihadapi keluarga Shani.

Dengan kecepatan sedikit dikencangkan dan jarak yang lumayan jauh dari bibir kota. Mereka telah sampai pada tempat tujuan. Pedal gas dilepasnya, roda berhenti berputar. Terlihatlah sebuah rumah kecil dengan pondasi seluruhnya terbuat dari kayu. Dan atap yang terbuat dari…. Seperti daun. Disamping rumah terlihat seorang pria paruh baya dengan pakaian lusuh tengah bertukang memperbaiki dinding samping rumahnya yang telah usang. Anin maupun Ido pun menghampirinya.

“Maaf, apa ini dengan kediaman Mbah Karto?” tanya Anin dengan sopan. Pria tersebut berhenti dari aktifitasnya dan menatap tajam ke arah Anin dan Ido.

“Ada perlu apa?” tanya nya singkat.

“Jadi kita ke sini karna perlu bantuan dari Mbah. Akhir-akhir ini kita sering di teror maupun diganggu oleh makhluk kasat mata yang entah apa maksud dan tujuan mereka ganggu kita, ma….”

Penjelasan Ido dipotong oleh Mbah Karto, “Masuklah…” suruhnya untuk Ido dan Anin menjelaskan didalam rumahnya.

Hampir setengah jam Ido menceritakan teror yang menyerang dirinya dan para saudaranya kepada Mbah Karto. Karna kondisi Ido dan Anin yang datang tanpa membawa apapun, akhirnya penjelasan Ido dihentikan dan disuruh Mbah Karto mencari persyaratan yang belum ada sama sekali. Dengan meninggalkan Anin untuk ditanya lebih lanjut oleh Mbah Karto, Ido pergi melesat menjauh dengan mobilnya untuk mencari persyaratan yang diminta. (Imajinasi buat Anin yang ditinggal bareng Mbah Karto tolong dikondisikan, Imajinasi jangan pada liar ya).

Setelah kembali ke kota dan mencari kesana kesini yang diminta oleh Mbah Karto, Ido telah kembali ke kediaman Mbah Karto. Tapi Ido merasakan ada hal yang ganjal. Ia berpikir, aura maupun Hawa sekirar rumah yang Ido tangkap berbeda dengan hawa sebelum ia pergi. Ido masih diam disamping mobilnya sambil menerka apa yang berbeda hingga, sebuah suara orang seperti tidur mendengkur terdengar dari arah dalam rumah. Dengan langkah pelan Ido mendekat dan detak Jantung yang mulai menguat. Suara mendengkur semakin jelas terdengar namun, saat Ido tepat didepan pintu suara itu…hilang. Ido mendorong pintu dengan perlahan. Terbuka, terbuka dan semakin terbuka lebar. Ido diam mematung, badan terasa kaku, tangan gemetar, matanya melotot tak percaya dengan apa yang sedang ia lihat didepannya.

Didepannya, Mbah Karto dengan tanpa kepala beserta perut yang penuh darah seperti ditikam pisau berkali-kali. Sedangkan dikursi, tubuh Anin bersender lemah tanpa tenaga dan mungkin juga sudah tak bernyawa dengan kondisi leher sedang di sembelih oleh seorang wanita ? Kondisi Anin lah yang mungkin tak sempat melarikan diri akibat tangannya terikat pada kursi. Sosok wanita berbaju putih dengan berlumur darah menatap Ido dengan tajam dan menjauh menyembunyikan badannya dibelakang.

nnnn

Ido langsung berlari keluar menuju mobil setelah dirinya berhasil menggerakan anggota tubuhnya. Dengan perasaan campur aduk Ido menancap pedal Gas dengan cepat meninggalkan rumah Mbah Karto yang tuan rumahnya telah tewas beserta keponakannya, Anin. Dengan belum sempat Mbah Karto mencari tau apa masalah utama dan apa tujuan para makhluk itu menerornya dan keluarga.

Dengan nafas tak beratur, tangan gemetar Ido mencoba menghubungi Shani maupun yang lain tapi, semua nomor tiba-tiba tak bisa dihubungi dan sinyal yang ikutan hilang. Kondisi cuaca diluar terlihat mulai hujan kecil dan bertambah lebat. Jalanan mulai tak terlalu jelas dilihat dari dalam kaca mobil. Entah kesialan atau apa yang ditimpa Ido. Disaat genting mobil yang dikemudikan Ido mesin mati dan keluar asap dari cap mobil depan.

“SHIIITTT!!!” umpat Ido sambil memukul stir mobil.

Ido turun dan mulai mengecek sumber masalah namun, ia kembali mengurungkan niatnya akibat hujan yang terlalu lebat dan terdapat petir. Didalam mobil Ido berusaha menghubungi seseorang lewat ponselnya dengan sinyal yang minim.

“Ayolah… Come on! Come on!”

“Cepet angkat, Shan! Lu pada kemana sih?” ucap Ido yang ketakutan didalam mobil sedangkan kondisi diluar hujan lebat beserta petir.

“Halo do. Ada apa?” sahut Shani dari panggilannya yang diangkat.

“Shan, tolongin gue…” ucap Ido dengan nada bergetar.

“Halo shan ! Hallo!!!” panggilan masih tersambung, namun tak ada suara apapun dari Shani. Tak lama setelahnha ponsel Ido mati akibat kehabisan energi batrai.

Dengan memeluk kakinya, Ido melihat sekeliling. Pandangannya terbatas akibat hujan. Dari kejauhan Ido melihat bayangan mendekat dari derasnya hujan. Seorang pria dengan menyeret kantong sampah. Pria tersebut semakin mendekat dan Ido keluar dari mobil memanggil-manggilnya. “Sebentar, kantong sampah ?” Pikir Ido setelah memperhatikan. Bukan. Pria itu bukanlah menyeret kantong sampah tapi…menyeret tubuh seseorang dengan kondisi kepala hampir terputus. Pria tersebut berhenti dan memegang kepala dari tubuh yang ia seret. Memuntirnya dan menariknya hingga benar-benar terputus. “Aaaaa….” Ido yang sudah didalam mobil tercekak melihatnya karna juga kepala yang ia lihat dicabut adalah kepala dari Anin.

Pria itu berjalan ke arah hutan dan menghilang. Ido mendekatkan kepalanya ke arah kaca depan dan… “BRAK!!!” pria tadi telah berada diatas cap mobil depannya sambil membawa kepala Anin. Ido mundur ke kursi belakang. Tanpa diduga kepala Anin digunakan untuk memecahkan kaca mobil hingga pecah. Pria tersebut tertawa namun, suara wanita. “Hihihihi….”

Ido dilemparkanya keluar sampai terpental jauh dan mendarat dengan keras ke aspal jalan. Darah mulai mengalir dari kepala. Tulang diseluruh tubuh Ido serasa remuk. Tubuhnya tak bisa digerakan. Pria tersebut berjalan ke arahnya. Samar-samar kini wujud pria tersebut berubah menjadi sosok wanita bergaun putih.

“Sin…sinka…arrghhh…”

Wanita bergaun putih yang Ido sebut Sinka itu menari girang mengelilingi Ido sambil tertawa cekikikan ditengahnya hujan lebat. “Hihihihi…. Hukuman buat anak nakal. Hihihi….” ucapnya sambil terus menari girang tapi mengerikan. Sinka berhenti menari. Ido masih terdiam tak bisa bergerak. Mesin mobil menyala dan mulai berjalan melindas tubuh Ido. Kini tubuh Ido telah ditindih roda depan mobilnya. Ido masih sadarkan diri. Sinka menghampirinya dengan berlari kecil dengan gaya larian seperti berjinjit. Sinka mengeluarkan kukunya. “Hukuman terakhir. Hihihihi….” dengan menggunakan kukunya yang panjang dan tajam, Sinka memenggal kepala Ido.

Hari semakin larut. Shani beserta yang lain mulai khawatir dengan Anin dan Ido yang tak kunjung pulang. Tak ada kabar pula. Shani berniat keluar rumah untuk mencari telepon umum akibat ponsel miliknya dan Gracia kehabisan pulsa, sementara ponsel Willy sedang diperbaiki. Saat Shani mulai melangkahlan kakinya langsung ditahan tangannya oleh Willy.

“Biar aku ke telepon umum nanti sekalian beliin pulsa juga buat gre”

“TAP!”

“Biar gue aja, lu disini aja sama Gre” Willy melangkah pergi dan Shani duduk kembali.

Kondisi malam itu seperti biasanya. Kondisi telepon umum lumayan ramai oleh antrian orang-orang.

“Tumben bener pada make telepon umum” heran Willy.

Saat tibalah giliran Willy. Kondisi antrean tak lagi ramai, hanya ada dua orang dibelakangnya. Willy mulai memencet nomor tujuannya. Beberapa kali mencoba, namun tetap saja tak tersambung. Akhirnya Willy menelpon Abdul (Teman Willy).

“Hallo dul” ucap Willy.

“Siapa nih?”

“Ini gue, Willy. Gw mau minta bantuan lu nih, tolong isiin pulsa ke nomor ini…. Masing-masing Lima Puluh Ribu, ntar gue ganti” ucap Willy.

Seseorang dari tadi menggedor pintu dari belakang, “cepetan mas, saya juga mau pake” ucapnya. Namun Willy hanya memberi kode dari tangannya mengisaratkan “sebentar” dan melanjutkan pembicaraannya kembali. Pria di antrean itu mungkin kesal melihat kelakuan Willy, akhirnya pergi, “orang paling deketan juga pake telepon umum lama banget. Norak” gerutunya ke Willy sambil terus berjalan mencari tempat lainnya. Di antrean kini hanya ada satu orang saja.

Tak lama kemudian, suasana mendadak hening. bersamaan dengan itu, bau amis yang cukup tajam mulai menusuk hidungnya. Willy kemudian menyadari bahwa orang-orang yang ada di belakangnya sudah berkurang dan hanya menyisakan seorang saja. Dan orang itu adalah, Anin ? Seorang diri ? Ido kemana ? Dari luar Anin melambaikan tangannya dan tersenyum. Willy membalasnya. Tanpa keluar dari dalam, Willy langsung menelpon Shani.

“Shan, ini Anin udah sama gue, tapi kalo masalah Ido gue belum tau. Entar bisa gw tanya aja sama Anin” ucap Willy nerocos. Tapi dari balik telepon tanpa ada jawaban dari Shani, malah yang ia dengar hanya suara tangis dari Shani.

“Kenapa lu shan? Lu terharu gw bisa nemuin Anin ? Hahaha. Kalo Ido ilang mah kaga masalah. Hahaha” ucap Willy bercanda. Namun, tawanya langsung hilang ketika Shani berbicara untuk Willy mengentikan candaannya.

“Hentikan candaanmu wil! Kamu bilang kalo Ido ilang ga papa ? Sekarang Ido benar-benar ilang dari kehidupan kita, begitu juga dengan Anin. Huhuuuu…”

“Sebentar, maksudnya gimana nih?” bingung Willy.

“Barusan aku dapat kabar dari pihak kepolisian telah ditemukan tiga mayat dengan… Dengan meninggal tak wajar. Dan… Dan dua korban diantara itu Ido sama Anin” jelas Shani.

“DEG!” Willy kaget. Seketika bau amis menyengat kembali tercium oleh indera penciuman Willy.

Setika tanpa sengaja melihat ke bawah, Willy menemukan bahwa orang yang berdiri di belakangnya itu yang ia sangka Anin ternyata tak memiliki sepasang kaki. Dia melayang. Anin tersenyum lebar. “Hallo kak Willy…”

Sontak Willy panik, tapi dia berusaha tenang dan memberitahu Shani bahwa dia harus segera balik ke rumah karena koin nya sudah hampir habis. Setelah menutup teleponnya, Willy langsung membalikkan badannya dan berlalu secepat mungkin. Dia bahkan tidak berani untuk melihat wajah Anin ?

Sesampainya di rumah, dengan kondisi nafas terengah, Willy bersandar dibalik pintu utama sambil mengatur nafas. Tak lama kemudian terdengar kembali suara orang di belakang Willy pas di telepon umum.

“Koin nya habis ya, kak?” suaranya dari balik pintu pas. Sontak Willy kembali panik dan berlari menuju Shani dan Gracia.

Dalam posisi memeluk lututnya, Shani menangis tersedu. Disampingnya terdapat Gracia yang memeluknya. Willy hanya diam di posisinya dengan kedua tangan diletakan dikepala seperti orang menahan sakit kepala. Mereka shock mendengar kabar tentang kematian adik dan saudaranya itu secara tak masuk di akal. Sedangkan orang tua mereka baru akan pulang lusa. Suasana rumah saat itu hening tanpa percakapan. Hanya suara tangis dari Shani maupun suara Gracia yang mencoba menenangkan Shani walau dirinya juga ikut menitikkan air mata.

“BRAK!” suara dari lantai atas menghentikan momen melow yang sedang terjadi. Willy mengisaratkan agar Shani dan Gracia tetap berada ditempatnya. Willy bangkit dari duduknya dan mengambil senter berjalan pelan mendekati anak tangga sambil pandangannya terus mengawasi lantai atas. Suara terus terdengar saat Willy menaiki tangga. Suara yang berasal dari kamar miliknya sendiri. “Ada apa didalam kamarku?” mungkin seperti itulah pertanyaan yang ada dibenak Willy. Bulu kuduk Willy kian berdiri dan aura dingin namun sesekali menjadi hembusan panas menerpa kulitnya. Bau tak enak mulai tercium. Nyalinya mulai menurun saat dirinya telah sampai tepat didepan pintu kamarnya sendiri. Dengan keberanian yang tersisa, Willy membuka pintu tersebut dengan perlahan. “KRAK!” pintu terbuka. Hanya kegelapan yang ditangkap oleh Lensa Mata Willy. Dengan senter ditangannya, Willy mulai mengarahlan cahayanya ke arah dalam. Hal yang membuat Jantungnya berdetak kencang secara tiba-tiba kembali Willy alami. Cahaya senter menangkap sesuatu saat ditunjulan ke arah pojok kamarnya. Sosok wanita berbaju putih tengah melayang dipojok kamarnya dengan wajah yang ditutupi rambut.

nnnnn

Sosok tersebut selama beberapa menit terus terdiam ditempatnya. Willy diam mengarahkan senternya dengan tangan gemetar. Sosok tersebut mulai mengangkat kepalanya dan menyeringai memperlihatkan deretan gigi runcingnya.

“Aaaaaaaaaaa…….” tanpa diduga oleh Willy, sosok tersebut berteriak dengan sangat keras namun suaranya melengking. Mulut dari sosok tersebut juga terbuka dengan sangat lebar dan wajahnya sungguh mengerikan. Tapi, anehnya Willy tetap terdiam di posisinya sampai dari kedua lubang Telinga Willy mengeluarkan darah. Barulah Willy bisa berlari menghindar tapi, lagi-lagi hal aneh terjadi. Dari lantai atas Willy melihat lantai bawah pada Shani dan Gracia, mereka masih terduduk tenang seperti tak mendengar sesuatu bahkan, disaat Willy memanggilnya mereka tak menjawab ataupun menoleh.

Willy berniat berlari ke arah anak tangga namun, tepat diambang anak tangga terdapat sosok perempuan berbaju putih dengan Boneka ditangannya berdiri menyamping dari posisi Willy berada. Keadaan Willy telah terpojok. Dirinya sungguh ketakutan dengan situasi saat itu. Ia hanya bisa terdiam di satu tempat sementara perempuan itu telah menghadap ke dirinya. Dari kejauhan perempuan tersebut cekikikan dan berlari jinjit ke arah Willy. Pelan, pelan dan semakin cepat seakan-akan berniat untuk menikam Willy.

“Tolong hentikan….”

“Tidaaakkkkk!!”

“PRANGGG!!!”

Tubuh Willy terdorong dan terlempar ke arah Jendela dan terjun bebas ke arah luar dari ketinggian lantai dua rumah. Darah mengalir dari kepalanya. Willy masih sadarkan diri walau nafasnya tersenggal-senggal. Terlihat perempuan tersebut terbang melayang dengan entengnya kesana kemari sambil cekikikan, “hihihihihi….”. Perempuan tersebut turun menghampiri Willy dan memegang kakiknya.

“Tolong hen…tikan. Apa sa…lah k…kami?” tanya Willy dengan darah keluar dari mulutnya dan sambil menahan sakit disekujur tubuh, kepala akibat jatuh bebas dari lantai dua. Perempuan itu hanya menjawab, “karena kalian harus dihukum. Hihihi…” ucapnya dengan nada riang namun terkesan menyeramkan untuk didengar.

“Kenapa kami harus di huku….aaaaa…. Hentikan!” Willy diseret oleh perempuan tersebut ke Sumur tua samping rumah dan, “tubuh kamu kotor banyak noda merahnya, kamu harus mandi. Hihihihihi….” dimasukanlah Willy ke dalam Sumur tua tersebut. Setelahnya, penutup Sumur dari beton tertutup rapat kembali, menutup Willy yang sedang sekarat berjuang memposisikan kepalanya agar tak tenggelam dan berteriak meminta tolong walau hal itu hanya sia-sia.

Sementara itu di ruang keluarga, Shani dan Gracia masih berada. Shani dengan rasa khawatir terhadap Willy yang sedari tak kunjung balik. Sunyi, hanya suara hembusan angin malam yang terus terngiang melewati pendengaran. Gracia telah tertidur dipangkuan nya. “SREK…SREK…” suara benda diseret ? Kain diseret ? Shani menengok ke sekeliling memperhatikan sekitar. Gelap, hanya itu yang ia lihat. Semua nampak tak ada apapun. Namun, hal ganjal masih hinggap di perasaan nya. Tapi apa ? Pikirnya.

“Ga bisa tidur?”

“Iya ga tau kenapa. Udah kamu tidur aja lagi dek” ucap Shani membalas sambil mengelus rambut Gracia dan melihat raut wajahnya. “DEG!” dengan jelas Shani melihat Gracia sedang tertidur pulas dipangkuan nya. Lalu, lalu dengan siapa tadi berbicara ? Willy ? Bukan ! Sudah jelas itu suara perempuan. Shani kembali menengok ke sekitar, tapi tak ada siapapun. Nafasnya mulai tak teratur akibat dirinya mulai ketakutan. Willy tak kunjung datang, mereka hanya berdua sedangkan satunya dalam kondisi tertidur pulas dan dia berbicara dengan orang. Shani terus memperhatikan sekitar.

“Cari aku ?” ucapnya. Shani membulatkan matanya kaget. Seolah tubuhnya kaku.

“Ngapain cari kanan kiri ? Aku kan di atasmu”

Shani melihat ke atap. Ternyata suara seretan benda tadi adalah seretan kaki makhluk diatasnya. Dengan rambut panjang dan kepala yang berputar 180 derajat, lidah panjang dan gigi runcing menatap Shani. Shani kemudian kembali menutup matanya. “Aku harap semua nya segera berakhir” ucap Shani dalam hatinya sambil memperkuat pejaman matanya. “Semua akan berakhir” timpal makhluk diatasnya dan kemudian tak terdengar ataupun terasa adanya makhluk tersebut.

Tak lama setelahnya Gracia bangun dari tidurnya dan menatap sang kakak yang sedang memejamkan paksa matanya. Gracia mengerutkan dahinya. “Aaakkhhh…” teriak Shani kaget saat jari telunjuk Gracia menyentuh pipi. Gracia malah tertawa melihat ekspresi kakaknya itu.

“Aduh, bikin Jantungan aja kamu dek” ucap Shani sambil mengelus dada.

“Maaf. Lagian kakak kenapa sih? Kaya orang ketakutan gitu” balas Gracia.

“Ga papa. Kamu kenapa bangun?” Shani mengalihkan topik pembicaraan.

Gracia menggesek kedua kakinya, “pengen pipis, hehehe…”. Shani meghela nafas melihat kelakuan adiknya. Mana lagi minta di temenin.

Shani menunggu didepan pintu kamar mandi dengan santai dan pastinya sambil sesekali Shani memancing obrolan untuk menjaga dari hal yang kurang di inginkan dan juga untuk memecah sunyi nya malam yang kurang mengenakan.

Beberapa saat Shani menunggu, Gracia selesai hingga gagang pintu terlihat diputar dari dalam, “KREK!”. Gracia keluar dari dalam sambil membetulkan resleting celana pendeknya. Saat Gracia berlalu dan meminta kembali ke ruang keluarga, Shani melihat bayangan kepala di dalam kamar mandi yang Gracia gunakan barusan. Kamar mandi dengan kondisi lampu telah dimatikan oleh Gracia.

Terus ia perhatikan hingga dirinya terkejut. Benar, itu sebuah bayangan kepala sedang memperhatikan dirinya dari dalam kamar mandi. Kemudian ia tersenyum lebar ke arah Shani yang membuatnya ketakutan dan pergi menyusul Gracia.

nnnnnn

Shani menarik tangan Gracia untuk jangan kembali ke ruang keluarga. Gracia menatap Shani bingung, “kita tidur kamar aja”. Shani menjawab tatapan yang Gracia tunjukan. Gracia hanya mengangguk dan berjalan bersebelahan dengan Shani menaiki anak tangga. Sebelum masuk kamar Shani sempat melihat ke arah lorong kanan dan kiri mencoba memastikan adanya aktifitas dari Willy, namun tetap saja tak ada. Shani masuk menyusul Gracia dan mengunci pintunya.

Ketika Shani telah tertidur dengan posisi kaki kirinya terjuntai ke bawah. Shani merasakan kaki kirinya seperti di tarik-tarik oleh seseorang. Terasa dingin tangan yang menarik kakinya. Shani membuka matanya namun gelap. Tangannya meraba lampu tidur di meja kecil sebelahnya namun, tangan Shani malah menyentuh tangan lain yang tak kalah dingin juga. Dengan perlahan Shani menarik mundur tangan nya dengan perlahan dan mengurungkan niatnya menghidupkan lampu dan mencoba untuk tertidur kembali. Di luar kaca jendela kamar sosok perempuan berbaju putih menyeringai memperhatikan ke arah tempat tidur Shani dan Gracia berada.

Terlihat di hadapan Shani, Anin bersimpuh. Tak lama setelahnya Anin mendekat ke arahnya dengan merayap, “Anin ga bisa tidur” bisiknya tepat di telinga Shani. Wangi tubuh Anin tercium oleh hidung Shani. Aroma parfum yang biasa Anin gunakan. Shani terdiam. Anin merangkak ke atas ranjang dan tidur di sebelahnya yang ternyata tak ada tubuh Gracia sedari tadi ia tidur. “Anin sendirian, takut. Anin mau kakak temani Anin” ucapnya. Shani terbangun dengan tangan nya mencengkeram erat baju terakhir yang Anin pakai sebelum kematian nya terjadi. Shani melihat tubuh Gracia terlelap disamping-Nya. Ia pastikan bahwa yang tidur disamping-Nya adalah adiknya sendiri dan ternyata memang benar Gracia. Shani memperhatikan pakaian Anin ditangan nya yang tadi nya bersih kini telah dipenuhi oleh noda darah. Shani langsung melemparkan pakaian tersebut dan memejamkan matanya.

Gracia yang berbaring disebelah Shani membuka matanya dan tersenyum lebar dan wajahnya pucat ? Itu Gracia yang asli ? Ia menutupkan matanya kembali di samping Shani dengan posisi membelakangi.

Pagi hari, Shani sedang berkendara saat akan berangkat menemui teman nya yang sedang terbaring sakit. Dengan kecepatan normal Shani membawa laju mobilnya. Sekitar Lima Belas Menit Shani berkendara menjauh dari rumahnya, dikarenakan jalan yang sedang sepi dan baru saja ia mendapat telepon dari Ibu temannya yang sakit bahwa Anik (Nama Anaknya) telah sadar. Kabar tersebut membuat Shani senang bukan main, mungkin juga karna Anik adalah sahabat Shani semenjak kecil. Walau jarak yang jauh bukan halangan bagi Shani untuk menjenguknya.

Shani menaikkan laju mobilnya pada jarum Speedo menunjukkan pada angka “100” tiba-tiba ada beberapa anak tanggung menyeberang jalan. Shani terkejut dan akhirnya membanting Stir dan menabrak Truk yang sedang berhenti hingga mobil yang dikendarai nya Ringsek. Ada hal yang membuat Shani kaget sebelum kecelakaan terjadi. Dengan jelas Shani melihat yang menyeberang adalah Anin, Gracia, Ido dan Willy. Mereka bertempat? bermuka pucat dan tersenyum ke arah Shani.

Shani terbangun dari mimpinya dengan keringat dingin yang dirasa. Dengan mengelus dada nya dan meminum segelas air yang terdapat di meja kecil sampingnya, “Syukurlah, hanya mimpi. Haaahhh….”.

Shani membuka Jendela kamarnya dan masuklah cahaya Matahari pagi ke dalam kamarnya.

Hari itu tak ada gangguan sama sekali. Sore hari Shani menemui Gracia yang tengah menonton acara televisi di rung keluarga.

“Sore-sore udah ketawa sendiri” ucap Shani duduk di sebelah Gracia.

“Biarin. Eh kak, besok Ibu sama Ayah pulang ya” ucap Gracia. Shani mengangguk.

“Nanti kita pergi jalan-jalan yuk” ajak Shani.

Dengan girangnya Gracia merespons ajakan Shani. “Ayok kak ! Jam berapa ?”.

“Sekarang aja tapi kamu mandi dulu gih” Gracia langsung berlalu dari hadapan Shani menuju kamarnya untuk bersiap.

Dengan rasa lelah Shani bersandar pada kursi Taksi. Bersama Gracia disebelah nya. Sekarang dirinya berada dalam kemacetan jalan kota malam. Hingga pedagang koran jalanan mengetuk pintu jendela kaca Shani. “Jam segini masih ada juga yang jualan koran?” Shani membuka kaca.

“Koran nya mbak?” ucapnya menawarkan.

“Yaudah, satu” ucap Shani membeli, padahal ia sedang malas membaca tapi entah kenapa ia malah membeli nya. Saat Shani akan membayar koran tersebut, “ga usah mbak, gratis” ucapnya dan pergi. Shani hanya heran melihatnya. Kemudian Shani hanya mengangkat kedua bahu nya, “yaudah”.

Sepanjang perjalanan pulang menggunakan Taksi hanya digunakan Shani untuk mendengarkan musik mp3 pada Earphone nya dan melihat ramai nya kota dari balik kaca Taksi. Sementara Gracia telah tertidur. Merasa bosan, Shani mengambil koran yang tadi ia beli, bukan. Yang dikasih tadi. Salah satu berita langsung menarik perhatian nya.

“KECELAKAAN TUNGGAL MOBIL HITAM YANG MENGHANTAM TRUK”

Shani terus membacanya dengan serius. Dan terkejut pada salah satu artikel yang di muat pada berita koran tersebut.

“Shani Indira Natio (19) tewas seketika setelah mobil yang dikendarainya menabrak sebuah Truk yang terparkir di pinggir jalan. Menurut saksi mata, mobil yang dikemudikannya tiba-tiba membanting Stir ke arah kanan. Padahal, saat kejadian tak ada orang atau kendaraan lain di jalan”

Saat terkejutkannya belum selesai. Tiba-tiba koran yang ia baca dijatuhi cairan berwarna Merah. Satu tetesan, dua, tiga dan semakin banyak. Shani memegang kepala nya dan ternyata cairan Merah itu adalah darah yang keluar dari kepalanya. Saat itu juga Shani baru menyadari bahwa Taksi yang ia naiki berjalan bukan pada jalan menuju rumahnya. Sekeliling hutan Pinus dengan jalanan gelap dan sepi.

Saat ia akan menanyakan hal itu pada sang sopir, Shani kembali dibuat terkejut. Sang pak sopir Taksi telah berubah menjadi sosok perempuan berbaju putih dan di kursi depan duduklah Anin yang dipangku Ido. Sementara disebelah nya telah duduk Gracia dan Willy dan semua nya bermuka pucat.

Saat itu Shani baru menyadari bahwa kecelakaan dalam mimpi nya adalah nyata dan bukan lah mimpi. Sepanjang hari ia di rumah dan pergi jalan-jalan bareng Gracia dia dalam kondisi sudah lepas dari tubuhnya, meninggal.

Shani masih berada di dalam mobil. Semua nya menatap ke arah Shani dan tersenyum dalam raut wajah pucat. Mobil terus melaju menerobos gelapnya jalanan hutan Pinus menembus kabut tebal.

“TIDAAAKKKKKK!!!!!!” Shani berteriak ketakutan.

“Minutes to Midnight….”

 

-THE END-

 

Wali Murid : Shanji bukan Shanju

Saran, kritik diperlukan. Silahkan tulis apa yang mau di utarakan oleh pembaca di kolom komentar. Maaf jika masih terdapat Typo atau hal lain yang masih membuat bingung di cerita ini dan terima kasih yang sudah membaca ^_^

Twitter : @ShaNjianto

10 tanggapan untuk “Minutes To Midnight : Creepy and Punishment

  1. Keren! Bikin merinding tapi satu keritikan dan saran saja. Kuntilanak kalau jalan gak kayak ondel-ondel ya, gw udah pernah lihat sendiri kalau berpindah tuh slalu terbang lurus kedepan dengan cepat dan tolong kalau bikin cerita jangan kasih gambar. Bukan karna serem atau bagaimana ya, parno oy!

    Suka

    1. Kuntilanak memang biasa berpindah tempat dg terbang, tapi kadang kala mereka berlari kecil dengan gaya seperti kaki jinjit, langkah kaki yg pendek tp tempo cepat dan gerakan tangan yang tak berarturan ngikuti goyangan badan. buat masalah gambar hanya bertujuan untuk pemanis Imajinasi. Bikin mrinding/parno dll adalah tujuan cerita ini. terima kasih sudah membaca dan atas kritik, sarannya.

      masihkah inget gw ? maaf ya soal tantangan/masalah yang dulu :v

      Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.