Liontin Memories

yuyu

Sebuah kisah romansa cinta sangatlah indah. Apalagi klise, pasti akan ada bumbu menarik di setiap kejadian. Cinta merupakan pengorbanan terindah yang pernah dirasakan oleh manusia. Seenggaknya, itulah yang seseorang tau. Jujur, sejujur-jujurnya orang itu tidak terlalu tau apa itu cinta. Dia juga tidakpercaya yang namanya cinta itu akan indah. Padahal sekiranya, dia pernah merasakan apa yang namanya cinta setiap hari. Lebih tepatnya rasa kasih sayang. Mungkin anggapan orang lain ke dia itu

“Lo mendingan diem aja, Lo kan nggak pernah ngerasain gimana yang rasanya cinta kan? Lo nggak usah ikut campur deh. Mendingan lo rasain sendiri dulu sebelum lo komen-komen nggak jelas kayak gini.” Itu lah ocehan dari teman yang selalu ngusik telinganya saat jenjang Sekolah Menengah Atas atau kalian bisa bilang SMA.

Jadi…

Apa itu cinta?

Sebuah perasaan?

Singkatan?

Atau hanya angan-angan?

 

~o0o~

 

Dunia memang menarik. Penuh dengan warna-warnanya sendiri yang beragam. Sama seperti dunia, orang-orang juga punya warnanya tersendiri. Lebih beragam dan lebih rumit. Cinta juga sama. Bahkan cinta yang tak terbalaskan punya pelanginya sendiri. Ya, seperti indahnya malam minggu yang dirasakan oleh semua orang. Banyak orang juga bilang istilahnya “Satnight” yang merupakan singkatan dari “Saturday Night” artinya jadi Sabtu Malam, bukan malam Minggu.

“Dek? Mau ikut kakak?” tanya seorang gadis cantik dengan kulit putih. Perawakannya agak pendek. Berkarakteristik cerdas, anggun, dan sederhana.

Telah hadir di sana 3 orang. Penuh dengan keharmonisan di sela-sela kesibukan.

“Hm? ke mana?” tanya seorang pemuda yang sibuk membenarkan posisi duduknya.

“Ya… jalan-jalan kek. Ke mana gitu, malem Minggu bosen tau di rumah terus. Mengenal lebih dekat daerah sini aja, kan pasti di sini banyak yang berubah. Seenggaknya kita tahu beberapa tempat. Apalagi, besok hari pertama kamu sekolah kan?”

 

TING TONG!

 

“Eh, ada tamu tuh kak.” ucap pemuda itu tanpa mengalihkan pandangannya dari buku yang berada di tangannya.

“Iya iya.” ucap gadis itu malas. Dia tau, adiknya ini suka sekali mengalihkan pembicaraan jika sudah menyangkut hal pribadi yang privasi.

“Hai!” sapa seseorang yang sudah berdiri di depan pintu dengan senyum mengembang di pipinya.

“Eh? ya ampun. Ini Ve?” tanya gadis itu terkejut. Sepertinya, orang bernama Ve ini sudah di nantinya.

“Hai Melody! Udah lama banget nggak ketemu. Tambah cantik aja.” ujar peempuan itu sambil berpelukan melepas rindu.

“Iya nih. Wah! Ve tambah cantik juga nih. Tambah tinggi lagi, jadi pangling. Mirip kayak model-model profesional gitu hahaha.” ujar gadis bernama Melody ini dengan sifat humorisnya.

“Bisa aja Mel. Oh iya, gimana kabar kamu?” tanya Ve.

“Seperti yang kamu liat. Aku baik kok. Duduk dulu yuk, aku buatin minum.” ucap Melody sambil menyuruh Ve masuk dan duduk.

“Dek, sini nih. Ada kak Ve. Kamu kenalan dulu gih.” ucap Melody menarik tangan pemuda itu.

“Oh… jadi ini adik kamu yang sering kamu ceritain ya Mel? boleh juga nih. Mau dong punya kakak ipar kayak Melody uwuwuwu.” Ve memanyunkan majahnya lucu.

Pemuda itu berdiri dan menyambut tangannya.

“Hu! doyannya berondong nih ye…. Jangan digodain orangnya Ve. Suka kepedean tuh.” Ucap Melody sambil melirik pemuda itu. Pemuda itu itu hanya bergedik pelan dan memutar matanya malas.

“Jessica Veranda. Panggil Ve aja” ucap Ve tak melepaskan pandangannya dari pemuda itu.

“Gue Al-Gazali. Dan ini cara asik gue makan Bun Cabe! Wah! Pedes gila!!!” ucap pemuda itu menirukan gaya sponsor di televisi.

“HAHAHA….” suara tawa pecah seketika di ruang tengah rumah itu.

“Al, yang bener dong kenalannya.” Ucap Melody yang masih belum bisa mereda tawanya.

“Jadi Ve, ini adik aku. Namanya Aldo.” Melody memperkenalkan adiknya itu.

“Iya, iya. Seru yah orangnya. Hmm… perasaan kok jadi ngangenin ya?” goda Ve dengan senyum manisnya. Pemuda itu hanya diam seketika memandang indah senyum Ve.

“Udah Ve, Ge’Er nanti orangnya. Tuh, udah salting-salting gitu.” ucap Melody memanas-manasi.

“Jadi… dipanggilnya apa nih? Al-Gazali?” tanya Ve mendekat.

“Al aja kak. Dipanggil sayang juga boleh. Eaaa~” pemuda bernama Aldo itu sedikit memberi candaan.

“Ngarep tuh, ngarep. Dasar jomblo, nungguin yang belom ketemu mulu. Udah, cari yang baru gih.” sindiran dari Melody.

Seketika, wajah Aldo terlihat murung kembali. Senyum dan tawa yang menghiasi wajahnya hilang seketika itu juga terbawa angin malam yang masuk melalui jendela rumah yang sengaja dibuka.

“Aku ke kamar dulu kak.” Aldo beranjak dari tempat duduknya dengan langkah gontai menundukkan wajahnya menuju ke kamarnya yang berada di lantai dua rumah itu.

“Al…. “ ujar Melody sendu menatap punggung Aldo yang mulai pergi.

“Em… maaf kalo kurang sopan aku nanya. Emangnya ada apa sih? kalo nggak bisa cerita nggak papa. Semua orang berhak punya privasi.” ucap Ve dengan penasaran.

Aldo berdiri sejenak di balkon rumahnya. Terbalut kelam masuk ke dalam ingatannya. Di kota ini, bersama seseorang.

 

[ LIONTIN MEMORIES ]

 

“Kakak mana ya? Kok belum pulang juga sih? Katanya hari ini mau ngajak aku jalan-jalan.” ucap seorang gadis mungil mondar-mondari di sebuah rumah sederhana yang dikostnya.

Dia adalah anak yatim piatu, sungguh menyedihkan tidak memiliki orang tua. Tapi beruntung sekali, ia punya seorang kakak yang perhatian, baik, dan selalu menjaga maupun menemaninya. Di kala susah maupun senang.

“Kak Yupi lama banget deh.” ucapnya murung dan duduk di sebuah kasur yang bisa terbilang hanya cukup untuk dua orang. Di sebuah petak kost yang terbilang sangat sederhana.

 

—o0o—

 

Di sebuah cafe tepatnya pinggiran kota saat malam hari menghiasi. Terlihat seorang gadis cantik dengan seragam sedang membersihkan meja-meja yang penuh debu dan kotoran dengan menggunakan lap yang sedari tadi ia selampirkan di bahunya.

“Hari Sabtu, banyak juga yang dateng ke sini. Syukurlah, jadi ada tambahan uang lemburan.” ucap gadis itu senang di tengah keluhnya.

“Kamu benar. Saya senang sekali dengan kerja kamu hari ini bisa melayani semuanya dengan baik.” ucap seorang laki-laki yang bisa terbilang usia pengusahawan kepala dua ke atas.

“Oh, pak Falah. Iya pak, saya juga senang sekali hari ini. Kedai ini ramai dikunjungi, lantaran weekend lebih banyak remaja yang nongkrong di sini,” ucap gadis itu dengan senyum simpul yang menghiasi wajahnya.

Laki-laki dengan seragam bertuliskan “Owner” di dada kirinya mendekat dan memberi sesuatu.

“Ini untuk kamu, terima kasih atas kerja kamu. Hari ini, kamu saya pulangkan lebih cepat.” Ucap lelaki itu sambil menepuk pundak gadis itu.

“Apa ini pak?” tanya gadis itu heran melihat sebuah amplop berwarna coklat.

“Lihat saja, simpan baik-baik. Saya tahu kamu sangat membutuhkannya dalam waktu dekat ini. Oh iya, jangan lupa bersenang-senang bersama adikmu di malam Minggu ini.” ucap lelaki itu kemudian berlalu pergi.

Gadis itu terheran, kemudian ia membuka amplop itu perlahan. Dia sangat terkejut.

“Em… pak, ini kelebihan.” ucapnya tidak bisa menerima. Terlihat dua buah lembar uang berwarna merah di sana.

Lelaki itu berbalik, ia lalu tersenyum.

“Kamu pantas dapat lebih. Sudah, tidak usah dipikirkan. Kamu lebih baik kamu cepat tutup kedai dan pulang ke rumah. Ah, lagipula istri saya mungkin juga sedang menunggu saya di rumah.” ucap lelaki itu mengambil jas hitamnya dan keluar kedai. Berlalu tanpa berhenti berjalan, pandangannya tidak memperhatikan gadis itu.

“Tapi… pak….” ucapnya ingin menyela. Tapi, lelaki itu sudah pergi terlebih dahulu dengan menggunakan mobilnya.

“Terima kasih.” ucapnya haru dengan mata berkaca-kaca. Senyumnya mengembang sembari mengepel lantai di cafe itu.

“Oh iya, Windy!” ucapnya baru teringat sesautu tentang nama itu. Adiknya, ia berjanji mengajaknya jalan-jalan malam ini.

“Aku harus cepet pulang.” ucapnya sambil mengemasi barang-barangnya dan kemudian bergegas pulang. Tak lupa sebelum itu, ia menutup dan mengunci cafe yang bertuliskan “Kedai Fanfict” itu.

 

—o0o—

 

TOK TOK TOK

 

“Al? Kamu di dalem?” suara seorang gadis dari luar kamar pemuda itu.

“Masuk aja kak, nggak dikunci.” Ucap pemuda itu pelan.

“Kakak minta maaf ya soal yang tadi.” ucap Melody.

“Hm? Nggak usah dipikirin kak” ucap Aldo tersenyum penuh arti.

“Em… gimana kalo kita jalan-jalan malam ini? Mau nggak? Diajakin sama kak Ve tuh. Kamu mau ya?” ucap Melody mendekat dan duduk di pinggiran kasur. Sedangkan Aldo menoleh, tapi belum beranjak dari balkon kamarnya.

“Ke mana?” tanya Aldo.

“Katanya ada tempat seru di deket daerah sini. Gimana? Kamu mau ikut? Please ikut ya, ya, ya?” ucap Melody memohon.

Aldo bingung, sepertinya ia tidak ingin. Tapi kakaknya sudah memaksa dengan wajah seperti itu.

“Iya, baiklah-baiklah.” ucap Aldo menyerah dan mengikuti kemauan kakaknya.

 

—o0o—

 

Aldo, Melody, dan juga Ve berangkat menggunakan mobil milik Melody. Menyusuri gemerlapnya kota Jakarta. Kota metropolitan yang di masa depan akan menjadi kota metromilenium. Penuh dengan kerasnya kehidupan metafisik. Minimnya perhatian publik akan lingkungan sekitar.

“Jadi… kita mau ke mana?” tanya Aldo di sela-sela menyetir.

“Gimana kalo kita ke pasar malem? Aku denger-denger dari anak kampus, katanya pasar malem pas malem Minggu gini seru tuh. Wahananya asyik, banyak obralan dan kuliner juga. Gimana?” usul Ve dengan semangat.

“Aku ngikut kak Imel aja.” ucap Aldo tanpa memalingkan wajah dari jangkauan kemudinya.

“Boleh deh Ve. Yuk Al, daripada nggak ada tujuan gini.” ucap Melody pasrah.

“Oke.” Aldo menancap gasnya menuju tempat tersebut dengan arahan Ve.

Selagi sibuk mengikuti arahan Ve, matanya tak berhenti berputar dan bergedik ke sekitar.

“Jakarta, nggak ada yang berubah semenjak terakhir kali aku ke sini. Apa kamu masih di sini?” batinya dalam hati sambil tersenyum penuh arti.

 

~o0o~

 

Lama sekali menunggu angkutan umum kota saat malam hari di halte bus. Gadis itu terus celingukan menunggu. Sesekali melihat ke jam tangannya. Dan mukanya terlihat bosan menunggu.

Tak lama kemudian,

Bingo! Akhirnya ada juga.” ucapnya senang. Ia lalu memberhentikan angkot itu dan segera masuk ke dalam.

Di perjalanan, ia terus memandangi sudut-sudut kota ini. Kenangan terindahnya yang terkubur dalam di sini. Bagaimana kalian bisa mengubur sesuatu yang berada di dekat kalian? Itu pasti akan membuat kalian teringat kembali. Setidaknya, itu yang ada dalam benak gadis cantik itu.

Sekian lama, akhirnya ia sampai di sebuah perumahan, jarak rumahnya cukup jauh. Ia menyadari jika sudah pukul 20.45 malam. Ia lalu bergegas berlari tanpa mempedulikan apa pun.

 

TOK TOK TOK

 

KLEK

Gadis yang di dalam sebuah rumah membukakan pintu untuknya. Terlihat raut wajah kekecewaan yang mendalam di sorot matanya.

Dia lalu menutup pintu lagi dan mengunci rumahnya dengan rapat sebelum gadis yang di luar masuk.

“Win, maafin kakak Win.” ucap gadis yang di luar menggedor-gedor pintu depan rumah sederhana tersebut.

“Nggak! Kakak udah janji sama aku. Kakak bilang bakalan pulang lebih awal hari ini. Kakak bohong! Kakak lebih mentingin pekerjaan daripada aku! Hiks….” Suara rintihan terdengar dari dalam.

“Iya Win, kak Yupi minta maaf. Tadi ada masalah sebentar, please… tolong dengerin kakak.” ucap gadis yang bernama Yupi itu memohon di depan pintu. Ia termenung sejenak, pundaknya ia sandarkan di pintu perlahan hingga terduduk di lantai yang dingin. Ia menundukan kepalanya sambil berpikir sesalah itu kah ia di mata adiknya. Apa benar, ia kurang meluangkan waktunya untuk adiknya.

“Kakak jarang dan bahkan nggak pernah ngeluangin waktu buat Windy! Terus, kakak anggep aku ini apa?! Aku udah kesiksa hidup tanpa orang tua, tapi aku masih bersyukur punya kakak! Tapi… apa yang kakak lakuin?! Hi…hiks….” Air mata dan rintihan terdengar dari Windy yang juga sama, terduduk di pintu bagian dalam rumah.

“Iya, aku salah! Bodoh! Aku kurang bisa ngeluangin waktu dan kasih sayang buat Windy. Tapi aku ngelakuin ini semua juga buat dia, hiks….”Tangisnya dalam hati. Ia tak sanggup berkata apa-apa.

TAP TAP TAP

Terdengar suara langkah kaki.

“Heh! Cewek udik Elo itu… belom bayar sewa bulanan selama 3 bulan! Lo tau nggak sih? TIGA BULAN! Gue yakin kuping lo itu nggak budeg.” ucap seorang gadis dengan tampang arrogant berdiri di depan Yupi.

“I-iya maaf Nadse, a-aku belum dapat uang lebih. Tapi, aku punya segini.” ucap Yupi memberikan selembar uang berwarna biru.

“Cuma segini? Heh! Yang mau nyewa kost’an gue itu bukan elu doang ya. Sini-sini biar gue cari sendiri duitnya!” gadis bernama Nadse itu langsung mengambil paksa tas Yupi, menggeledah seluruh isinya dengan brutal.

“Eh, ja-jangan Nadse.” Ucap Yupi hanya bisa pasrah, ia sudah berusaha mengambil tasnya.

“Apaan sih lo!” Nadse mendorong Yupi hingga ia tersungkur di tanah.

“Owh… jadi, lo nyembunyiin di sini ya?” tanya Nadse sambil mengambil amplop coklat yang diberikan pada Yupi tadi.

“Jangan Nadse, i-itu buat adik aku.” ucap Yupi memohon.

“Nggak bisa! Ini gue ambil beserta bunganya.” Nadse hendak pergi. Menanggalkan seluruh isi dan juga tas Yupi begitu saja. Yupi yang melihat hal itu langsung menarik kaki Nadse.

“Nadse, tolong… please… aku butuh uang itu. Untuk adik aku, aku udah janji sama dia. Please, kali ini… aja.” Yupi menatap dengan sorot mata memohon.

“Sorry yah, nggak ada perpanjangan.” Nadse hendak pergi lagi. Tapi kemudian Yupi menariknya lagi dengan sangat teramat memohon.

“Please…. Nadse, dengerin aku. Aku butuh banget uang itu.” ucap Yupi.

Nadse terdiam dan berpikir sejenak. Terpikir sebuah ide jahat di otaknya.

“Oke, dengan satu syarat.” Nadse menggantungkan kalimatnya.

“Apa?” tanya Yupi yang sepertinya tak masalah apa pun itu.

“Lo harus ngikutin semua omongan gue. Lo harus mau gue suruh-suruh. Gimana? Ngerti?”

“Ta-tapi….”

“Owh… uang ini cocok banget kalo buat gue nyalon bulan ini.” ucap Nadse.

“Iya iya, aku ngerti.” Yupi pasrah menerima hal itu.

“Bagus, nih gue balikin.” Nadse melemparnya dan membuat uang di amplop itu berhamburan.

“Eits… kayaknya nggak perlu banyak-banyak deh.” Nadse mengambil lagi uang itu di tanah dan hanya menyisakan selembar uang berwarna biru.

“Nih, segini aja ya buat lo. Dihemat oke? Bye.” Tanpa rasa bersalah, Nadse meninggalkan Yupi yang masih terdiam. Ia perlahan mengambil uang itu. Memeluk uang itu.

“Syukurlah Tuhan masih memberi kemudahan.” Entah itu tangis sedih atau pun bahagia.

“Kak…?” Windy membukakan pintu depan rumahnya.

“Windy…?” Yupi langsung menyeka isak air matanya.

“Masuk.” ucap Windy.

 

—o0o—

 

“Win… maafin kakak, kakak nggak nepatin janji kakak.” Yupi tertunduk lesu. Ia menyembunyikan selembar uang berwarna biru yang sudah kusut tadi di belakang punggungnya.

“Duduk,” ucap Windy pelan. Yupi perlahan menengadahkan kepalanya, ia melihat Windy sedikit tersenyum. Dia berjalan mendekati pinggiran kasur.

“Kak…,” Windy langsung saja memeluk kakaknya erat. Tangisnya pecah seketika.

“Maafin Windy kak, Windy terlalu egois sampe-sampe nggak mikirin kakak hiks… Windy tau kakak berjuang keras buat kehidupan kita sehari-hari. Maafin Win… hiks…” air matanya tumpah di bahu kakaknya.

Yupi perlahan tersenyum. Tapi ia juga menangis.

“Iya, kakak juga minta maaf ya nggak bisa nepatin janji.” Yupi membelai puncak kepala Windy pelan. Di satu sisi, ia menangis haru melihat adiknya yang mulai mengerti. Tapi di satu sisi, ia menangis sedih dalam hati. Lantaran belum bisa membahagiakan dan memenuhi semua permintaan adiknya.

“Kak?” ucap Windy lirih

“Ya?”

“Besok, aku boleh nggak bantuin kakak kerja?” tanya Windy dengan mata penuh harap.

“Eh?” Yupi terhenyak sekejap.

“Nggak.” ucap Yupi tegas.

“Loh? Kenapa? Windy bisa kok bantu-bantu cuci piring di kedai,” ucap Windy.

“Tetep nggak boleh. Kamu harus fokus sama belajar kamu. Intinya, kalo kamu bisa selalu juara kelas dan juara di perlombaan, otomatis itu udah bantu kakak banget. Kamu ngerti?” Yupi sebenarnya melarang karena ia kasihan melihat adiknya. Tidak tega baginya untuk membiarkan adik kesayangannya satu-satunya ini bekerja paruh waktu seperti dirinya.

“Tapi….”

“Tolong, kamu nurut apa yang kakak bilang. Kakak sayang sama kamu Win.” Yupi memeluk adiknya erat.

“Iya, Windy juga sayang kakak.” Windy membalas pelukan kakaknya erat.

Lama mereka berpelukan, hingga Yupi tersadar sesuatu. Jam menunjukan pukul 21.00 di jam tangannya.

“Win, kita pergi ke suatu tempat yuk! Mau nggak? Tempatnya asik dan seru loh!” ucap Yupi membujuk adiknya.

“Hm? Di mana kak? Mana ada tempat main yang jam segini masih buka?” tanya Windy penasaran.

“Udah ikut kakak yuk, anggep aja ini tanda permintaan maaf kakak. Ingat satu hal ya, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.” Yupi menarik tangan adiknya keluar rumah menuju suatu tempat.

“Semoga dengan sisa uang yang aku punya, bisa mengukir setipis mungkin senyum yang ada di wajahnya.” batin Yupi senang. Mereka pergi dengan menggunakan angkutan umum ke sebuah tempat. Penuh dengan gemerlap cahaya yang menghiasi malam minggu ini.

 

~o0o~

 

“Udah sampe nih kak, aku mau cari tempat parkir dulu ya.” Ucap Aldo yang masih berada di dalam mobil. Ia menyuruh kakaknya untuk turun terlebih dahulu sedangkan dia mencari tempat untuk parkir mobilnya.

“Oke, kakak tunggu di depan sana ya.” Melody menunjuk ke sebuah tempat obral baju.

Aldo hanya mengacungkan jempolnya dan menancap gas mobilnya mencari tempat parkir. Setelah cukup lama mengitari, akhirnya ia menemukan tempat parkir di pinggiran.

Ia hendak memundurkan mobilnya, tapi…

“Akkhhh!!!” suara teriakan terdengar dari belakang mobilnya. Tidak ada hantaman, tapi mungkin ada sesuatu. Aldo lantas langsung turun dari mobilnya dan segera melabrak orang tersebut.

“Ayo bangun kak.” ucap seorang gadis membantu seorang gadis lainnya yang sedang terjatuh, nampak sedikit luka lebam karena jatuh terpeleset.

“Mbak! Lo kalo jalan liat-liat dong! Liat nggak sih mobil gue tadi udah mundur dan udah gue nyalain lampu sen!” Aldo tampak marah dikuasai emosinya yang meluap. Mungkin pikirannya sedang meracau. Kegelapan malam dan kurangnya penerangan, membuat satu sama lain antara mereka kurang jelas melihat wajah masing-masing.

“Iya, m-maaf mas. Kami nggak sengaja, jalanannya sedikit licin dan gelap.” ucap gadis yang baru saja berdiri.

“Lo pernah nggak sih diajarin sama orang tua lo aturan nyebrang yang baik hah?!” ucap Aldo tanpa segan-segan melontarkan kata-kata itu.

“Mas, maaf ya. Mas boleh hina saya, tapi jangan hina orang tua saya. Karena saya tidak punya orang tua mas! Lagipula kami nggak salah. Justru situ yang tiba-tiba belok hampir menabrak kami. Kami sudah minta maaf.” ucap salah satu gadis itu mendekat dengan nada amarah yang memuncak. Tapi masing-masing dari mereka mengingat wajah orang yang berada di hadapannya itu.

“Udah kak, udah.” ucap gadis satunya menenangkan, mereka kemudian pergi berlalu.

“Dasar, cewek yang nggak punya tata krama!” ucap Aldo menendang sebotol kaleng entah ke mana arahnya.

“Misi mas, mari saya bantu parkirkan mobilnya.” muncul seorang pria paruh baya dengan rompi hijau.

“Maaf pak, saya nggak mesen ojek onlen.” ucap Aldo menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“SIAPA YANG BILANG GUE TUKANG OJEK ONLEN NJIR?!” Pak tua itu nampak sewot.

 

—o0o—

 

“Ehehe, ya maaf pak. Saya kira tadi begitu.” ucap Aldo sembari memarkirkan mobilnya dan setelah itu duduk di kursi dari bambu yang berada di sana. Seperti sebuah tempat untuk pangkalan.

“Sudahlah, saya nggak terlalu memikirkan itu.” ucap pak tua itu duduk di sebelah Aldo perlahan. Mungkin faktor usia juga mempengaruhi pengeroposan tulang seperti Osteosaurus.

“Osteoporosis nak.” ucap bapak itu tanpa mengalihkan pandangannya.

“Bapak ngelihatin apaan sih?” Aldo pun penasaran.

“Hm? Kesengasaraan.” ucap bapak itu. Aldo mengikuti arah pandangan mata bapak itu dan terlihat beberapa pemulung yang tak punya rumah dan tidur di kolong jembatan dari kejauhan tempat ia duduk.

“Inilah kerasnya Jakarta nak. Kota ini, sebenarnya sudah hancur. Janji petinggi terus dikumandangkan, tapi tetap tak pernah memberi bukti.” bapak itu mengelap peluh dengan sapu tangan yang ia selampirkan di lehernya.

“Super sekali semuanya. Kita beri tepuk tangan. Wah, ini acara Mario Tegang Super Show ya? Saya masuk TV pak?” Aldo melihat-lihat ke sekeliling kalau-kalau ada kamera tersembunyi.

“GOLOK!” Pak tua itu langsung mengaitkan sebuah logam berkarat tajam di leher Aldo.

“Maaf pak, hehe. Kapan lagi bisa masuk TV gitu.” Aldo sudah dipenuhi keringat es. Keringat dingin udah mainstream soalnya.

“Berjuang susah payah mencari sesuap nasi. Itulah kerasnya kota ini. Kriminalitas di mana-mana. Diskriminasi hingga demo. Hukum dan peraturan seakan-akan dibuat untuk dilanggar, bukan ditaati. Zaman sekarang saja, hukum pun bisa dibeli.” Pak tua itu terus mengoceh.

“Nak, saya sebenarnya sudah mempunya seekor anak.” Bapak tua itu mengeluarkan sebuah foto usam yang bukan gambar orang. Tapi kepala orang yang pitak, orangnya nggak keliatan. Cuma pitak di rambutnya doang yang ada di foto itu.

“Bangke, seekor! Lagipula foto apaan yang keliatan pitaknya doang!” Aldo seperti merasa ada keganjilan. Mungkin bapak ini sedang mencari pasangan untuk mendampinginya dan Aldo menelan ludahnya karena ia mengira dirinya lah. Maho man, serial anime terbaru setelah One Punch Man sepertinya sangat cocok menggambarkan suasana saat ini.

“Anak saya hilang nak, dan… hanya ini ciri-ciri ini yang saya miliki.” Bapak tua itu mengelus, mengendus, dan menjilat foto itu.

“Lha terus apa hubungannya sama gue?!”

“Kalau kamu menemukan orang yang memiliki pitak seperti ini, cepat-cepat beritahu saya ya.” Bapak itu memegang pundak Aldo. Perlahan, semakin lama malah jadi mencengkram.

Bapak itu tersenyum kecut. Wajahnya mendekat, semakin mendekat. Aldo seperti merasakan atmosfer burger jengkol dan pizza petai dari mulut bapak itu.

“Ma-maaf pak! Saya ada keperluan dulu! Dah!” Aldo berlari secepat kecepatan cahaya dari tempat itu tanpa meninggalkan jejak, tapi…

“Lah? Ini dompetnya nggak dibawa?”

 

~o0o~

 

“Wah!” gadis itu sangat takjub dengan sesuatu di sekitarnya. Penuh warna gemerlap di tengah kesunyian dan kegelapan malam. Mungkinkah ini pelangi di malam hari? Mungkin, hanya makna konotasi saja. Tapi gadis itu percaya, pelangi ada di mana pun asalkan memancarkan 7 warnanya.

“Bagus ya dek? Gimana? Kamu suka?” tanya gadis yang satunya. Ya, dia adalah kakaknya. Senyum simpul mengembang melihat kekaguman adiknya pada tempat yang terbilang biasa ini. Malam minggu di pasar malam.

“Iya kak Yupi! Aku suuuka banget!” ucapnya girang, seperti ingin melompat seperti anak kecil.

“Eh, lihat deh!” jari telunjuk Yupi menunjuk ke langit hitam pekat itu. Ada sebuah benda berkelip, mainan baling-baling yang dimodifikasi dan diberi lampu berwarna-warni.

“Wih! Keren kak!” Windy terkagum-kagum. Sedangkan Yupi sebenarnya senang jika adiknya senang.

Tapi di satu sisi, ia terenyuh pada sifat adiknya. Sederhana, ya itu lah. Hanya seperti ini saja dapat membuat adiknya mengembangkan senyum simpulnya. Sedih hatinya melihat adiknya, ia baru bisa memberi hal ini.

“Kak?”

“Ya?” Yupi langsung tersadar dari lamunannya.

“Kok ngelamun sih? Ke situ yuk!” Windy menarik tangan Yupi menuju sebuah tempat yang dipenuhi oleh anak-anak.

Sesampainya di sana, ia melihat sebuah wahana yang berputar-putar. Dengan replika kuda yang naik turun berulang kali dihiasi tawa canda anak-anak kecil.

“Hahahaha… seru bu! Seru! Ayo mau lagi teman-teman!” ucap anak paling gendut tertawa paling keras.

“Iya! Yi~ha! Koboy akan segera mengejar penjahat!” ucap anak di belakangnya yang menggunakan topi koboy.

“Lucu ya kak, hahaha.” Entah gerangan apa, Windy juga ikut larut dalam candaan mereka. Walau pun dia hanya bisa melihat dari pagar besi pembatas wahana itu.

“Ibu, ibu… aku ingin naik itu.” Ucap seorang anak kecil berubuh mungil yang digendong ibunya.

“M-maafin ibu nak, tapi ibu tidak punya uang. Besok kalau ibu sudah punya uang, nanti kamu boleh naik apa saja yang kamu mau.” Sahut ibu-ibu paruh baya yang sedang menggendong anaknya itu dengan nada sendu. Seperti ia ingin kebahagiaannya diambil hanya untuk kebahagiaan anaknya.

“Ayolah bu, aku ingin sekarang.” Rengek anak kecil itu. Matanya seperti ingin menangis.

“Besok ya nak, ibu janji. Hari ini, ibu hanya dapat uang pas untuk makan kita saja. Besok, ibu janji akan mengajak kamu main apa saja. Kita pulang yuk, yuk.” Ibu itu membujuk anaknya halus.

“Enggak! Aku mau naik itu huhuhu…” tangis anak kecil itu terisak. Ibunya kasihan pada anaknya, tapi ia hanya bisa memeluk anaknya agar perasaan anaknya lebih tenang.

“Win, mau ke mana?” Yupi melihat adiknya tiba-tiba pergi. Sempat sedari tadi mereka berdua memperhatikan pasangan anak ibu itu. Yupi ingin menahan kepergian adiknya. Tapi, ia tahan karena melihat sesuatu.

“Permisi bu, anaknya kepana nangis?”

“Ini nak, anak saya ingin sekali naik wahana itu. Tapi, kami tidak punya uang sama sekali. Besok ya nak.” Ucap ibu itu masih menenangkan anaknya.

“Adek…? kenapa kok nangis?” Windy membelai rambut anak itu.

“I-tu kak hiks… aku mau naik itu huhuhu….”

“Hmm… maaf ya, tapi kakak juga sama nggak punya uang. Tapi, kakak punya ini. Ini buat kamu.” Windy memberikan sesuatu pada anak kecil itu.

“Wah! Kak, makasih!” senyum terukir dari wajah anak itu yang ingin berterima kasih. Windy memberikannya tiga buah permen lollipop mini yang diperolehnya dari sisa uang saku sekolahnya.

“Iya, sama-sama. Lain kali, kamu nggak boleh gitu sama ibu kamu ya. Kalo ibu kamu nggak punya uang, kamu nurut aja dulu. Nanti juga dikasih kok apa yang kamu mau.” Windy membelai kembali puncak kepala anak kecil itu.

“Iya kak, hehe. Ibu, maafin aku ya kalo aku nggak nurut dan cuma nyusahin ibu.” Wajah anak kecil itu tertunduk lesu. Ibunya tersenyum pada anaknya.

“Iya nak, ibu maafin. Enggak kok, kamu nggak menyusahkan ibu. Justru kamu adalah anugerah titipan luar biasa yang diberikan sang Maha Pencipta. Ibu akan selalu menjaga kamu nak. Maafin ibu juga ya.” Ibu itu memeluk anaknya erat.

Dari kejauhan, Yupi sangat puas dengan apa yang dilakukan adiknya. Bagaikan ia menanam sebiji bakal buah. Lalu bila sudah besar, bakal buah itu tumbuh menjadi sebuah pohon yang berbuah lebat. Ya, seperti itu lah. Ia hanya menanam sedikit kebaikan pada Windy sejak kecil. Inilah hasilnya, di depan matanya.

Ibu dan anak itu berterima kasih kemudian berlalu pergi. Setelah itu, Windy menghampiri kakanya.

“Kamu punya permen dari mana Win?” tanya Yupi heran.

“Oh, itu dari sisa uang jajan aku kak.” Jawab Windy.

“Cie~ adik kakak sekarang udah pinter nabung ya?” Yupi memberikan nada candaan.

“Ih, apaan deh kak. Dari dulu kali. Kan kakak juga yang ngajarin Windy hehe.” Windy hanya nyengir nggak jelas.

“Yaudah yuk, kita jalan-jalan keliling lagi.” Ajak Yupi.

“Oke kak!” Windy mengekori Yupi yang berjalan di depannya.

 

~o0o~

 

“Jirut! Bisa kena paustrophobia gue deket-deket sama tuh tukang parkir.” Aldo mengatur nafasnya yang terengah-engah.

“Bentar, emang pasutrophobia apaan ya? Kalo gue denger-denger di serial animasi spons cuci piring katanya phobia sama Santa Clause? Arrggghhhh! Pusing!” Aldo memegangi kepalanya, seperti tak mau melanjutkan apa yang dipikirkannya.

“Duh, haus juga nih.” Aldo menghampiri sebuah warung di pinggiran pasar malam itu. Dengan langkah gontai, ia berjalan perlahan.

“Ini berapa bu?” Aldo memegang sebuah minuma berkarbonasi atau soda.

“Lima ribuan dek.” Ucap ibu penjaga warung.

“Oh, bentar ya bu.” Aldo merogoh saku belakang celananya.

“Loh? Eh?” Aldo seperti orang ling lung yang panik.

“Loh? Kok dompet gue nggak ada?!” Aldo terkejut menjumpai sesuatu yang hilang dari dirinya.

“Bu, bo-boleh nggak saya ngutang dulu? Saya haus banget nih.” tanya Aldo gugup.

“NGUTANG?”

“I-iya bu.” Suara model toa menggema tepat di telinga Aldo.

“Oh, boleh… tapi…,”

“Pake tapi segala bu. Tapi apa?”

“Mas! Ini loh, ada yang mau ngutang!” ibu-ibu itu sedikit berteriak.

“Weh, mau manggil orang buat mukulin saya ya bu. Asal ibu tau ya, saya ini jago Muay… Th… ai….” Aldo merinding karena di lehernya sudah ada sebuah golok.

Ia melirik ke belakang dan terlihat seseorang berbadan kekar dengan goloknya siap menggorok leher Aldo. Dengan topi yang ia balik bak seorang kiper terhebat Wakabayashi di serial manga Tissue Basah.

“Eh abang. Tukang cendol komplek ya?” Aldo nyengir dengan wajahnya dihiasi keringat dingin yang mengucur deras.

“Tadi kenapa mas? Mau ngutang?”

 

~o0o~

 

“Kak, kita ke situ dulu yuk. Kakak laper nggak?”

“Iya nih, agak laper sih.” Jawab Yupi.

“Ya udah, kakak tunggu di kursi situ aja ya. Aku mau beli arum manis dulu.” Ucap Windy hendak pergi.

“Tunggu.” Balas Yupi cepat.

“Iya, kenapa kak?” tanya Windy yang tertahan.

“Ini uangnya pake uang kakak aja. Jangan lupa kembaliannya ya.” Yupi memberika selembar uang kertas berwarna biru.

“Tapi… ini kan,”

“Udah, nggak papa. Pake aja.” Balas Yupi ikhlas.

“Oke kak.” Ucap Windy bersemangat

Lama Yupi menunggu di bangku dekat parkiran itu. Ya, itu adalah tempat di mana tadi Yupi terserempet mobil bersama adiknya. Mana orang yang menyerempet itu bukannya minta maaf, malah marah, bentak-bentak, terus mencaci-maki.

“Dek, sendirian aja. Adeknya tadi ke mana?” tiba-tiba ada seorang lelaki tua paruh baya menghampirinya dengan peluit yang masih melekat di mulutnya.

“Oh, adik saya tadi lagi beli makanan. Ada apa ya pak?” tanya Yupi sopan.

“Adek nggak ada yang luka atau kenapa-napa kan?” tanya bapak itu sedikit khawatir.

“Syukurlah nggak ada pak. Hanya lecet sedikit saja tadi karena jatuh.” ucap Yupi sedikit berbohong. Sebenarnya, tadi sempat siku dan kakinya berdarah. Tapi tidak ada yang menyadarinya, bahkan Windy juga karena keadaan gelap yang tak terlihat jelas.

“Oh, syukur. Baguslah kalau begitu. Oh iya, bapak bisa minta tolong sesuatu sama adek boleh?” tanya bapak itu sambil merogoh tas kecil yang ada di serempangan bahunya.

“Apa ya pak?”

“Ini, tolong kamu kembalikan ini kepada pemuda yang menabrakmu tadi. Bisa?”

“Oh, bisa pak.” Yupi menerima dan melihat-lihat barang itu. Sepertinya ia tahu itu barang apa. Kemudian ia membukannya.

“Astaga! Uang sebanyak ini. Ini maksudnya apa ya pak?” tanya Yupi terkejut melihat setumpukan uang berwarna merah tersusun rapi di sebuah barang yang ditaksir dompet tersebut.

“Tadi pemuda itu kemari mengobrol sejenak dengan saya. Lalu tiba-tiba dia pergi. Nah, saat itu saya menyadari bahwa dompet pemuda itu telah tertinggal di tempat ini. Saya tidak berani membawanya.” Ucap tukang parkir itu.

“Tolong kembalikan dompet ini ada pemuda tadi ya.” Pesan pak tukang parkir itu.

“Baiklah pak, saya usahakan sebisa mungkin.” Balas Yupi.

“Kak!” Windy datang dengan sebuah permen kapas yang ada di tangannya.

“Nih, aku udah beli satu buat kita berdua” ucap Windy senang sambil menyerahkan kembalian dari apa yang dibelinya itu.

“Win, kita makan sambil jalan ya? Ada sesuatu yang harus kakak kembaliin.” Ucap Yupi.

“Hm? Apaan kak?” tanya Windy bergedik heran.

 

~o0o~

 

Di sebuah bangku taman kosong yang berada di tengah pasar malam. Terlihat jelas sebuah wahana besar yang  penuh dengan gemerlap warna pelangi. Terus berputar seperti sebuah roda pada porosnya yang menjadi pusat perhatian semua orang.

“Ah sial! Apes banget gue hari ini. Mobil lecet, ketemu sama tukang parkir humu, terakhir gue suruh nyuci piring gegara nggak bayar minuman.” Pemuda itu menyandarkan punggungnya di bangku taman itu. Seperti melepas penat, dan mengeluarkan semua isi beban yang ada di kepalanya.

“Seseorang pengganti…?” pemuda itu terpikir akan perkataan kakaknya tadi. Ya, pemuda itu adalah Aldo.

“Mana bisa? Masa segampang itu melupakan semua kenangan kita berdua. Dan itu udah dari kecil kita samaan terus. Ya, walaupun gue dulu masih polos dan nggak tau apa-apa. Nggak tau apa itu cinta. Tapi cuma sama dia gue tahu dan ngerasain apa itu yang namanya cinta.” Kedua tangannya menutup wajahnya.

“Hei?” tiba-tiba terdengar suara halus. Nyaman untuk di dengar, terdengar seperti suara anak kecil. Dari pita suaranya, seperti suara gadis. Yah, tapi Aldo mengira itu adalah gadis yang bisa melayang.

Ia perlahan membuka matanya perlahan yang tadi sempat terpejam. Perasaan merinding terus menghantui.

“Huah!!!” Aldo kaget melihat dua orang gadis berdiri di depannya. Dengan rambut acak-acakan dan poni yang sama. Terlihat seperti bercak-bercak pada kedua pipi gadis itu. Apa itu darah? Kalau benar, itu tandanya mereka CANNIBAL!

“Mas? Yang tadi kan?” salah satu gadis itu bertanya. Wajahnya mendekat. Aldo terdiam sejenak.

“Serem, tapi… kok cantik ya?”

Aldo terhenyak sejenak.

“Mas?” gadis itu melambaikan tangan persis di depan Aldo.

“Eh iya? Tunggu bentar, kalian kan yang tadi itu kan?” Aldo teringat dua orang gadis yang ak sengaja ia serempet tadi.

“Iya, emang kenapa? Huh.” Gadis yang berada di belakang berbicara dengan nada kesal sekaligus malas.

“Mau ngapain lagi ke sini? Semenjak ketemu lu berdua, kehidupan gue jadi sial tau nggak?!” Aldo seperti tidak menerima kehadiran dua gadis itu.

“Heh, itu tandanya lu kualat sama kita. Makanya, kalo salah tuh jangan nyolot.” Gadis di belakang hanya menyidekapkan kedua tangannya di depan.

“Udah jelas-jelas lu yang salah. Kok malah jadi lu yang nyolot?!” Aldo berdiri.

“Hei, udah-udah. Gini aja, mas maafin kita karena kita tadi jalannya nggak liat-liat. Kita ke sini bukan buat gangguin mas kok, cuma mau ngembaliin ini.” Gadis di depannya itu memberika sesuatu yang Aldo cari-cari selama ini. aldo menerima barang itu. Tapi ia berpikir sejenak.

“Owh… jadi lu berdua ya yang ngambil dompet gue?” tanya Aldo sambil memeriksa isi di dompetnya.

“Eh mas! Lu bukannya berterima kasih kok malah nyalahin kita sih? Sombong banget ih. Kalo lu nggak percaya, buka aja isi dompetnya” Gadis yang di belakang tampak sudah diselingi amarah.

Aldo memeriksa, dan benar saja masih utuh. Kemudian, Aldo menatap kepada dua gadis itu.

“Maafin gue, gue salah.” Ucap Aldo mengulurkan tangan sambil tertunduk.

Gadis yang di depan tersenyum simpul.

“Udah, nggak usah dipikirin. Aku Windy.” Gadis di depannya menerima uluran tangan Aldo hangat. Tunggu, ada sesuatu janggal yang dirasakan Aldo. Kehangatan apa ini? ia mencoba menerawang jauh ke masa lalunya.

“E-em… Aldo. Aldo R. Rendyan.” Ucap Aldo tergagap.

“Ih?! Apaan sih dek, orang kayak dia ngapain kita maafin. Pake diajak kenalan segala lagi. Hih, nggak punya malu banget deh.” Gadis yang berada di belakang Windy itu mengibaskan rambutnya judes.

“Hus! kakak nggak pernah ngajarin aku ngomong kayak gitu. Sekarang, kakak minta maaf.” Ucap Windy bergedik ke arah gadis di belakangnya itu.

“Ih! Ogah banget dek!” ucap Yupi terkejut.

“Aku minta maaf.” Aldo mencoba mendekat ke arah gadis yang di belakang Windy itu.

“Kak…?” Windy memberi kode.

“Ish…! iya-iya.Iya, gue juga minta maaf udah ngatain lo. Puas?” ucap gadis itu masih marah dan menanggapinya malas. Uluran tangan pemuda itu pun hanya ia biarkan.

“Aldo.” Aldo tiba-tiba saja mengambil tangan gadis itu.

“Eh… apa-apaan nih?” gadis itu tampak terkejut.

“Udah, kenalan aja.” ucap Windy.

“Yupi.” ucap gadis itu sambil melepas jabatan tangannya.

“Makasih ya, kalian udah balikin dompet gue” ucap Aldo sambil mencoba mengambil dompetnya. Mengambil beberapa lembar uang.

“Ini, sebagai tanda ucapan terima kasih” ucap Aldo menyerahkan uang itu.

“Duh, maaf mas. Kami ikhlas membantu. Nggak minta imbalan apa pun.” Ucap Yupi.

“Udah, ambil aja mbak.” Ucap Aldo memaksa.

“Maaf mas. Tapi kami  tidak bisa menerimanya.”

“Kak…?”

“Iya?” Yupi melihat k arah adiknya yang memandang sebuah wahana tepat yang berada persis di depannya.

“Aku boleh naik itu? Please…” ucap adiknya memohon.

“Tolong, mbak ambil ini untuknya.” Ucap Aldo. Yupi memandang ke arah uang itu sejenak. Dan akhirnya dengan ragu-ragu ia mengambilnya.

“Makasih mas.” Ucap Yupi senang.

“Nih dek, kamu kalau mau naik itu, ini uangnya.” ucap Yupi memberika selembar kertas uang itu.

“Beneran nih kak?” tanya Windy.

“Iya, berterima kasih sama dia.”

“Makasih” ucap Windy sambil tersenyum. Kemudian ia berlari dengan wajah gembira menuju dan menaiki wahana itu.

Kini, hanya tinggal tersisa mereka berdua di bangku taman kosong itu.

“Bisa kita duduk?” tanya Aldo. Yupi mengangguk dan duduk di sebelahnya agak jauh.

“Dia adik kamu?” tanya Aldo meyakinkan.

“Iya.” Jawab Yupi singkat.

“Lu kakak yang hebat.” Ucap Aldo tanpa mengalihkan pandangannya. Terus memandang ke depan ke arah wahana yang terus berputar itu.

“Makasih atas pujiannya.. Tapi aku kakak yang jahat,” Ucap Yupi sambil tertunduk. Aldo yang menyadari itu langsung menoleh.

“Aku bahkan hanya bisa ngasih ini ke dia. Aku sedih ngeliat di nggak bisa seperti anak lainnya. Hati aku terus menangis menyesali semua itu. Tapi, aku tetap bersyukur.” Ucap Yupi yang meneteskan air mata.

“Lu nggak salah, tidak ada kejahatan pada hati Lu yang gue lihat.” Aldo mengusap pipi Yupi yang belepotan akan permen kapas dan juga menyeka air matanya.

Yupi terdiam sejenak. Memandang wajah Aldo yang berada 10 centi di sambingnya.

“Sorry.” ucap Aldo tersadar.

“Boleh gue cerita juga?” tanya Aldo.

‘’Ya? Tentu. Kamu tadi udah dengerin cerita aku. Sekarang, aku bakal dengerin kamu.” Ucap Yupi yang memposisikan dirinya sebaik mungkin.

“Gue pernah bertemu seseorang di tempat ini. seseorang yang gue sayangi. Persis di tempat ini.”

“Dia orang yang mengajarkan gue banyak hal, penuh canda dan tawa. Dia yang menghiasi hari gue. Tapi, sayang kami harus berpisah,” Aldo tersenyum.

“Gue kembali ke sini hanya untuk mencarinya. Tapi, gue belum menemukannya. Gue berharap, dia masih menunggu gue di sini. Jikalau pun dia sudah ada yang memiliki,  gue harap dia bahagia. Dan gue hanya ingin satu. Menemuinya, itu saja.”

“Lalu? Apa masalahnya?”

“Semua orang di sekitar gue menyuruh gue untuk melupakannya dan mencari pasangan baru. Apa gue harus melupakannya? Terlalu sulit, bahkan dipaksa pun tidak bisa.”

“Kalaumenurutku ya, daripada dipaksa melupakan, lebih baik aku hilang ingatan sekalian.” Ucap Yupi tanpa menoleh sedikit pun masih memandang ke arah bianglala yang terus berkelap-kelip di hitam kelabunya malam.

“Eh, maaf. aku cuma asal ceplos aja. Padahal kita baru kenal.” Yupi menunduk lemas.

“Ah, nggak papa. Gue seneng ada yang mau dengerin aja. Lagian kata-kata lo barusan ada benarnya juga. Sekeras apa pun kita coba melupakan, akhirnya malah kita tambah mengingat kembali.”

Yupi menoleh ke arah Aldo. Aldo yang menyadari dirinya memperhatika Yupi langsung mengalihkan pandangannya lurus ke depan.

“Boleh aku tanya?”

“Hmm? Boleh, asal setiap pertanyaan dibayar pake senyum ya?”

“Ih, kok jadi ngeri sih? Baru kenal udah gombalin aja hahaha.” Yupi tertawa menutupi mulutnya karena terbahak-bahak yang ditahannya.

“Ah, lu belum kenal gue sih. Eh, tapi tadi udah kenalan deh ya, hehe.” Aldo menyelingi percakapan dengan candaan.

“Sebenernya, orang yang kamu cari itu kayak gimana?”

“Hmm… orangnya imut sih, jelek deh. Eh, tapi ngangenin gitu. Kecil, putih, lolly lah pokoknya. Ah pokoknya luvchu.” Ucap Aldo membayangkan.

“Idih, bayangin ampe segitunya. Kalau pendapat aku ya soal tadi yang kamu omongin keluarga sama teman-teman kamu bilang suruh cari pasangan baru ada benernya juga sih. Kenapa harus hidup dalam bayangan kalau kamu bisa melihat cahaya?”

“Eh?”

“Siapa?” tanya Aldo lagi.

“Kamu lah.”

“Yang tanya pendapat kamu.”

“Ih, kok nyebelin sih?” Yupi memukul-mukul lengan Aldo pelan dari samping.

“Aduduh duh duh, sakit. Kan bercanda hehe. Wah lu orangnya puitis juga ya ternyata. Jarang gue nemuin orang kayak lu.” Ucap Aldo.

“Eh, btw… kok lu bisa ada di sini sama adek lu?” tanya Aldo.

“Ya, aku janji ngajakin dia ke sini. Kasian dia di rumah terus. Daripada malem minggu kayak gini gabut, mendingan refreshing, iya kan?”

“Yah, bener juga.” Aldo menaruh kedua tangannya di belakang kepala sebagai bantalan.

Yupi melihat adiknya sudah berada di puncak bianglala sambil melambaikan tangannya pada mereka.

“Mau naik juga?” tanya Aldo.

“Hm? Maksudnya gimana?”

“Ya, naik bianglala itu. Mau?”

“Kamu kira aku anak kecil apa?”

“Alah, gak usah sok-sokan, gue bayarin sekalian.” Aldo langsung menarik tangan Yupi dan mereka beranjak ke bianglala itu.

Mereka bergegas membeli tiket di loket dan naik berdua.

“Nikmati sensasinya di atas ya mas mbak. Jangan lupa gandengan loh ya, mas dan mbaknya serasi banget.” Ucap seorang pegawai loket menggoda Aldo dan Yupi.

“Eh, bukan mas, kita nggak pacaran kok.” Ucap Yupi reflek karena terkejut mendengar hal itu.

Aldo yang mengerti situasi saat itu juga langsung menarik Yupi untuk duduk di sebelahnya.

“E-eh…” Yupi terkejut karena ini kesekian kalinya ia ditarik.

Wahana menyerupai roda itu terus berputar hingga mereka berdua berada di puncaknya. Mereka berdua sedari tadi hanya diam. Hening, itu lah yang saat ini mereka rasakan. Tak ada suara atau apa pun, Yupi terus memandang ke arah panorama kota dari atas biang lala, Menggambarkan suasana seperti melihat bintang. Tapi sayang, karena manusia membuat bintang tiruan, mereka sampai lupa pada bintang yang sebenarnya berada di langit.

“Indah bukan?” tanya Aldo melepas keheningan.

“He’em.” Yupi hanya mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya. Mungkin ini pertama kalinya dia menaiki wahana ini.

“Suka? Pernah naik ini?” tanya Aldo lagi.

“Suka banget. Pernah sih sekali, dulu sama orang yang aku sayangi juga. Tapi sekarang dia udah pergi.”

“Pergi ke mana?”

“Menghilang. Entah dia tidak memberi kabar. Jujur, setiap hari aku merindukannya. Merindukan semua hal tentangnya, dia yang selalu menghiburku kala aku sedih, kala aku senang, melindungi dan menemaniku selalu.” Ucap Yupi, matanya berbinar-binar. Entah itu dia ingin menangis lantaran matanya berkaca-kaca. Atau memang itu adalah pantulan cahaya dari matanya.

Aldo sangat heran dengan semua itu, sangat janggal. Ia hampir tak percaya baru kali ini melihat mata seorang gadis yang begitu bersinar bak sebuah bintang berwarna pelangi.

“Lu juga kehilangan seseorang?”

“Ya, kamu benar. Orang yang aku sayangi.” Yupi menyeka air matanya yang hampir jatuh.

“Sorry aku cengeng.” Ucap Yupi.

“Gapapa, gue juga heran sama perpisahan. Kenapa harus bertemu kalau akhirnya berpisah?” Aldo menyeka air mata yang mengalir dari pipi Yupi dengan tisu yang dia simpan di sakunya.

“Entah, aku juga belum nemuin jawaban untuk hal itu.” Yupi menerima tisu dari Aldo dengan senang hati karena meang ia sedang membutuhkannya saat itu.

“Betewe, thanks kamu udah ngajakin aku dan adik aku naik bianglala ini. Walaupun sederhana, tapi indah ya.” Yupi memandang lurus ke arah kota-kota dengan lampu kendaraan yang berkelap-kelip. Abstrak, namun indah membentuk barisan aritmatika yang kongkrit.

“Sama-sama, lagian malem Minggu kayak gini paling dicari sama para jomblo.”

“Situ jomblo ya mas? Nggak ada temennya makanya keluar sendirian? Hahaha…” Yupi tertawa memecah keheningan.

“Dih, apaan sih? Lu juga jomblo kali. Jomblo ngatain jomblo, aneh lu ya haha” Aldo tapa sadar membelai uncak kepala Yupi dengan candaan sehingga rambut dan poninya berantakan.

“Iiihhh…! apaan sih! Rambut aku jadi berantakan tau. Huftyup…” Yupi cemberut dengan keadaan tangan merapikan rambutnya.

“Iya-iya sorry, suka banget sama poninya nih. Kalo…

Diacak-acak sekali lagi boleh?” tangan Aldo mulai medekat ke kepala Yupi lagi.

“Enggak! Pokoknya nggak boleh!” Yupi menyingkir.

“Oh… nggak boleh?” Aldo mulai mencari celah untuk mengacak-ngacak rambut Yupi lagi. Malam indah nan tenang, di antara dua insan yang bergembira memecah keheningan malam.

 

Sekian lama, waktu mereka habiskan berdua dengan canda dan tawa. Hingga waktu telah menunjukan pukul 22.00. Bisa dibilang cukup larut untuk seusia remaja. Bahkan bagi seluruh umat manusia pun terasa sangat melelahkan.

“Thanks buat ajakannya Aldo.” Yupi tersenyum diikuti Windy di belakangnya yang sedari tadi matanya sudah ingin menutup. Seperti orang mengigau, langkahnya pun gontai.

“Iya, gue juga seneng kok. Lain kali kalo kita ketemu ntar siap-siap aja gue bawain gunting rumput taman buat motong poni lu ya? Hahaha…” Aldo tertawa jahat.

“Ih! Ogah-ogah!” Yupi mundur beberapa langkah.

“Oh iya, berhubung udah malem mau gue anterin? Tenang, gue orang baik-baik kok.” Tawar Aldo.

“Eh, ngak usah, ngerepotin nanti.” Yupi berusaha menolak, api Windy yang berada di belakangnya terlihat sudah sangat tidak tahan dengan rasa kantuknya.

“Tuh, adek lu kasian juga. Dah ayo, yuk!” Aldo menarik tangan Yupi menuju ke mobilnya.

 

Setelah berkelok-kelok memasuki jalan hampir sekitar setengah jam, akhirnya mereka sampai di rumah Yupi.

“Sampai! Sekali-lagi aku makasih banget ya Do.” Yupi menunggu di luar rumahnya, sedangkan Windy sudah disuruhnya segera beristirahat di kamar.

“Gak ditawarin mampir dulu gitu?” canda Aldo, wajahnya dibuat-buat menggoda Yupi.

“Hus! Ya nggak boleh lah. Ini udah malem tau. Lagian ini kan juga kos khusus perempuan.” Ucap Yupi mendengus.

“Iya-iya, galak amat mbak. Bawaan genetik ya? Lagian walaupun ditawarin, gue juga nggak mau kok. Udah malem gini, nggak enak ke rumah orang malem-malem.”

“Nah, itu tau.” Ucap Yupi menunjuk.

“Santai aja, oke selamat tinggal!” Aldo berjalan pelan menuju mobil.

“Al?” Yupi memanggilnya sejenak.

Aldo menoleh sejenak memastikan.

“Lain kali jangan ngomong selamat tinggal yah.” Ucap Yupi terdiam di depan rumahnya.

“Hah? Kenapa? Terus apa dong?”

“Apa aja selain itu.”

“Hmm… o-oke, sampai…jumpa?”

“Oke sampai jumpa!” Yupi masuk dan menutup pintunya dengan cepat tanpa menghiraukan Aldo yang masih di luar.

“Aneh, apa bedanya coba?” kata-kata itu terus terngiang-ngiang dalam benak Aldo. Tapi, ia tidak terlalu menghiraukannya.  Dia melajukan mobilnya pulang menuju ke rumah.

 

*****

 

Aldo pulang ke rumah dengan langkah gontai cukup mengantuk. Sebelum itu, ia tadi sduah memasukkan mobilnya ke garasi. Tanpa disadarinya, ia melewatkan seseuatu yang ada di depannya.

“Hai… udah ngantuk ya?”

“Iya nih kak, capek banget malem ini. Mau tidur rasanya.” Aldo terus melangkah pelan.

“Owh… gitu ya?”

“I…

.

.

.

Ya?”

Aldo menoleh ke belakang sejenak dan menjumpai mimpi terburuknya.

 

*****

 

“Kenapa kamu tadi ninggalin kakak sama kak Ve di pasar malem?! Kakak cariin kamu kemana-mana yah, daritadi kakak khawatir sama kamu. Mana HP kamu nggak aktif lagi. Coba bilang, kamu abis dari mana?” kak Melody kalo udah marah emang bisa menggetarkan seluruh isi bumi.

“Ta-tadi aku nganterin temen dulu kak. Maaf…” Aldo hanya bisa menjawab sambil menunduk.

“Kamu tahu nggak jam berapa sekarang?”

“Jam sebelas kak.” Ucap Aldo tanpa menatap wajah kak Melody sedikit pun.

“Tau nggak ini udah larut! Sekarang, kamu nyuci piring sana di belakang!” perintah kak Melody.

“Ah, ogah ah kak. Capek nih.” Keluh Aldo.

“Uang jajan~” kak Melody mengipas-ngipaskan beberapa lembar uang dan kartu kredit. Entah dari dari mana dan kapan ia mengambil  semua itu dari saku celana Aldo.

“Arrggghhhh…!!! iya-iya!”

Aldo menuruti perkataan dari kakaknya. Mencuci piring kala terngah malam. Emang males banget sih rasanya. Tapi mau gimana lagi? Nggak nurutin apa kata kakak, nanti dosa. Bisa-bisa kualat nanti. Sekitar jam setengah dua belas malam, akhirnya Aldo bisa tidur dengan nyenyak. Matanya memandang ke langit-langit tempat tidurnya memikirkan hal tadi. Sederhana, indah, dan nyata.

 

[LIONTIN MEMORIES]

 

Keesokan paginya~

“Buset, ini anak ya. Sejak kapan dia punya DNA keturunan kebo. Bangun aja susah banget. Dek! Bangun! Hari ini hari pertama kamu sekolah tau! Ayo cepetan mandi, ganti baju, terus sarapan!” kak Melody membangunkannya denga mengunyel-unyel wajah Aldo dengan bantal. Tujuannya agar dia terganggu, dan memuat nafasnya tersumbat. Dengan itu, kak Melody bisa membunuhnya! Hahaha! Oke lupakan. Biar dia cepet bangun maksudnya.

“Ah, apa sih kak?” Aldo bicara dengan matanya yang masih berkunang-kunang.

“Sekarang udah jam berapa?! udah jam enam seperempat Do. Ayo cepetan bangun! Nanti kamu telat.” Kak Melody mecubit seluruh tubuh Aldo agar ia bangun.

“I-iya kak Iya! Ampun kak! Sakit…!” Aldo langsung bangun dan mengambil handuk. Bergegas ke kamar mandi dengan langkah gontai.

“Eh! Awas!” kak Melody berteriak memperingatkan.

“Aaa….!!!”

GLODAK! TOK! DUAR!

“A… a-duh…” Aldo mengusap punggungnya yang sakit saat jatuh tadi. Ternyata ia menginjak sabun yang sembarangan ia taruh di depan kamar mandi.

“Astaga Aldo, hati-hati makannya. Lagian kamu ngapain sih naruh sabun di depan kamar mandi?”

“Em… i-itu kak…” Aldo tergagap-gagap karena punggungnya masih sakit.

“Owh… atau jangan-jangan.” Kak Melody sangat terkejut dengan wajahnya seperti menyebutkan huruf ‘O’ tapi tanpa suara.

“Eh, bu-bukan gitu kak! Bukan seperti yang kakak pikirin!”

“Jangan-jangan kamu…

.

.

.

Naruh sabun di depan kamar mandi gara-gara pengen mainan gelembung sabun kan? Iya kan?” kak Melody mendekat, membungkuk, dan tangannya menunjuk ke arah Aldo seraya meyakinkan apa yang diutarakannya.

“Eh?”

 

—o0o—

 

“Dasar, kayak anak kecil aja mainannya gelembung sabun.” Ucap kak Melody dengan tatapan sinis sembari mengambilkan sepiring nasi untuk Aldo.

“Yaelah kak, namanya nge-flashback masa kecil. Apa salahnya? Lagian seru kok.” Ucap Aldo meyakinkan.

“Udah deh terserah. Nih, sarapanya cepetan diabisin. Abis itu kamu langsung ke sekolah.” Kak Melody berjalan menenteng tas.

“Mau ke mana kak?” tanya Aldo dengan mulut penuh makanan.

“Mau ke kampus, hari ini ada jadwal kuliah pagi.” Kak Melody menoleh sejenak kemudian langsung berlalu pergi dengan mobil.

“Oh, yaudah.” Aldo kembali melanjutkan makannya.

Selah beberapa menit ia hampir selesai sarapan.

“Eh tunggu. Bentar-bentar, kalo nggak ada mobil terus gue ke sekolahanan gimana?” Aldo telat berpikir. Ia baru sadar akan suatu hal. Ia melihat ke garasi.

“Untung masih ada mobil sport hehe. Mumpung kak Melody nggak ada… Pake aja ah.”

 

—o0o—

 

“Pagi kak!”

“Pagi juga.”

“Nih kak, udah aku buatin sarapan. Cobain deh, ini kesukaan kakak di pagi hari.” Ucap sang Adik dengan nada berharap.

“Makasih dek, kamu baiiik banget!” gadis itu mencubit-cubit pipi adiknya gemas sambil menyantap sarapan pagi yang telah dibuatkan oleh adiknya itu.

“Kamu juga belum sarapan kan? Ayo sini kita sarapan bareng, kamu harus sarapan dulu loh biar kamu pinter nanti.” Ucap sang Kakak mengajak.

“Iya kak.” Sang adik dengan cepat memposisikan tempat duduknya.

Setelah cukup lama menyantap, akhirnya mereka selesai.

“Dek, kakak berangkat duluan yah. Udah kesiangan nih!” ucap sang kakak hendak berdiri dan ancang-ancang berlari.

“Eh! Kak kak! Tunggu dulu, kacamata kakak ketinggalan.” Ucap sang adik mengingatkan.

“Owh… iya-iya hampir aja lupa, yaudah kakak meluncur ke sekolah duluan. Bye~”

 

—o0o—

 

“Buset! Macet amat. Jakarta apa lautan manusia nih?” Aldo terus saja melirik-lirik jam tangannya.

Mobilnya sedari tadi tidak bergerak maju atau pun mundur.

 

*****

 

Setelah cukup lama menerobos kemacetan, akhirnya ia sampai di sekolah. Waktu menunjukan kurang dari 5 menit ia hampir terlambat.

“Pagi pak.” sapa Aldo pada satpam penjaga yang hendak menutup gerbang.

“Oh, pagi dek.” Balas si satpam itu.

“Murid baru ya?” tanya si satpam setelah ia menutup pintu gerbang itu seluruhnya.

“Iya pak, pindahan dari Bandung. Oh iya ya pak, saya mau tanya ruang kepala sekolah di mana?”

“Oh ruang pak kepsek tinggal lurus aja tuh di depan kantor utama.” Ucap satpam itu.

“Oh iya pak, makasih.” Aldo hendak beranjak menuju ke ruang kepsek. Tapi langkahnya terhenti. Sesuatu, ya seseorang yang sedang berlari penuh peluh membasahi.

TEETTT!!!

“Duh, pak hosh… hosh… bukain dong pak.” Seorang gadis dengan kacamata bundar dan rambut model twintailsedang terengah-engah.

“Kamu ini, untung saja kamu tepat waktu. Lain kali kalau bisa, datang 5 menit sebelum bel sekolah ya.” Ucap satpam itu membukakan sebagian pintu gerbang. Aldo memperhatikan dari kejauhan.

“Culun banget tuh cewek, tapi… kok ngerasa nggak asing ya sama mukanya?” gumamnya dalam hati, tapi ia tidak menghiraukannya. Ia langsung melanjutkan langkahnya menuju ke ruang kepsek.

 

—o0o—

 

“Permisi pak?” Aldo mengetuk pintu dan bertanya dengan sopan.

“Ya?”

“Saya Aldo pak, saya murid baru di sini. Jadi, saya masuk kelas mana ya pak?”

“Aldo? Oh, anak salah satu donatur di sekolah ini? Mari-mari sini nak, orang tuamu sudah berpesan pada bapak.” Ucap seorang bapak-bapak menggunakan seragam dinas pendidikan berkumis tipis.

“Iya pak.” Aldo mendekat. Pak kepala sekolah mempersilahkannya duduk di sofa tepat di sebelahnya.

“Jadi begini, dilihat dari intelektual kamu juga bagus, dan lagi kamu adalah anak salah satu donatur sekolah ini.”

“Lalu pak?” tanya Aldo heran. Perasaan, di sekolahnya yang dulu itu tidak ada yang namanya kelas unggulan atau apa lah, semuanya sama. Mudahnya, kalian bisa bilang Aldo adalah siswa pindahan dari kota Jepang.

“Daripada kamu di reshuffle, kamu lebih baik masuk kelas unggulan di sekolah ini. Kelas IX-A.” Ucap pak kepsek menepuk pundak Aldo.

“Oh, gitu pak. Jadi, di mana kelas saya ya pak?” tanya Aldo.

“Permisi pak…?” tiba-tiba datang seorang gadis berparas cantik. Matanya sangat indah saat memandang, bulu matanya lentik, dan postur tubuhnya sangat idealis. Bukan hanya itu, suaranya juga halus lemah lembut.

“Oh, kamu. Silahkan masuk.” Ucap pak kepsek.

“Ini pak, saya mau menyerahkan berkas-berkas proposal pensi dan pesta dansa untuk besok malam. Mengenai bahwa sekolah kita akan merayakan ulang tahun sekolah yang ke-48 tahun.” Ucap gadis itu mendekat ke arah sofa. Matanya sesekali melirik ke arah Aldo dan tersenyum di akhir ia mengalihkan pandangannya.

“Oke, coba saya lihat.” Pak kepsek membalik lembar-lembar proposal itu.

“Saya tanda tangan di mana?”

“Di sini saja pak.” Gadis itu menunjuk ke arah tempat tanda tangan di proposal.

“Baik,terima kasih pak. Saya permisi dulu.” Gadis itu hendak pergi.

“Tunggu sebentar, boleh saya minta tolong?”

“Oh, bisa pak.” Ucap gadis itu sambil berbalik.

“Tolong antarkan dia ke kelas IX-A berhubung dia murid baru, jadi tolong kamu dampingi dia berkeliling untuk beradaptasi dengan lingkungan sekolah ini.” ucap pak kepsek.

Gadis itu memandang ke arah Aldo sejenak, ia kemudian tersenyum melihat Aldo yang sudah salah tingkah sedari tadi. Gadis itu mengangguk dan mereka berdua keluar dari ruangan.

Saat berjalan-jalan di koridor sekolah, gadis itu sesekali melirik ke Aldo dan tersenyum. Aldo terheran-heran. Tapi yang lebih penting, di mana kelasnya sekarang.

“Aldo ya?” tanya gadis itu sambil berjalan.

“Em… I-iya kenapa?” tanya Aldo kaku.

“Oh, nggak papa.” Balas gadis itu.

TAP TAP TAP

Kemudian terlihat gadis culun twintail tadi sedang berlari tergesa-gesa.

“Hm… kamu, dia siapa?” tanya Aldo sambil menunjuk ke arah gadis culun tadi. Aldo belum tahu siapa nama gadis yang sedang berjalan bersamanya.

“Nadifha Salsabilla. Panggil aja Nadse. Soal cewek yang kamu lihat tadi, dia anaknya nakal. Udah nakal, dari keluarga nggak mampu lagi. Nggak prihatin banget, aku kasihan deh sama dia.”

Aldo hanya mengangguk-angguk sambil melihat gadis itu masih berlari.

“Dia dikenal juga suka ngebully anak-anak di sini. Kami anggota OSIS pun nggak berani ngelawan dia. Pokoknya kamu jangan deh deket-deket sama dia.” Ucap Nadse semakin bermetafora.

“Kayaknya keadilan harus ditegakkan nih.” Batin Aldo.

Sekian lama mereka berjalan, akhirnya mereka sampai di kelas IX-A yang sudah ditentukan tadi.

“Permisi bu.” Ucap Nadse sopan karena sudah ada guru yang mengajar.

“Ya, silahkan masuk.” Ucap guru itu menunda pelajaran sejenak. Nadse masuk bersama dengan Aldo. Seluruh mata kaum pria tertuju pada Nadse sedangkan kaum wanita pada Aldo.

“Ini, saya mengantarkan murid baru yang akan masuk kelas ini. Sebelum itu, pagi teman-teman.” Sapa Nadse.

“Pagi juga Nadse!!!” seluruh isi kelas terutama para kaum laki-laki sangat antusias. Tak heran karena memang Nadse tergolong setengah bidadari dalam khayalan semua pria.

Nadse duduk paling depan bersama seorang gadis. Matanya tak henti-hentinya melihat Aldo.

“Baik, perkenalkan diri kamu.”

“Selamat pagi semuanya, perkenalkan nama saya Aldo Rain Rendyan. Saya pindahan dari kota Bandung. Semoga bisa akrab dengan kalian.” Aldo grogi dilihat seluruh anak di kelas.

Hening sejenak, hingga ada sebuah suara.

“Aldo!”

“Hai Aldo!!”

“Ulala, ganteng!!!”

“Aldo!!!” semua gadis di kelas terpikat atau memang mereka semua sedang terpanah oleh ketampanan Aldo.

“Ssstttt!!! Diam! Sekarang Aldo, kamu bisa duduk di…” ibu guru mencari-cari bangku kosong.

“Gre, pindah ke belakang sama Shani gih.” Bisik Nadse.

“Yaelah, giliran yang bening-bening gue suruh pindah.” Ucap gadis di sebelahnya mengambil tas.

“Bu, Aldo duduknya sama saya saja. Gre pun juga mau pindah ke belakang sama Shani.” Ucap Nadse menawari.

“Oke, baiklah Aldo. Kamu bisa duduk di sebelah Nadse.” Ucap guru itu.

“Baik anak-anak, sekarang kita mulai pelajaran. Buka buku fisika kalian, teori atom.” Ucap guru itu.

“Duh, aku belum punya buku paket.” Aldo seperti kebingungan.

“Hei, kamu berdua sama aku aja.” Nadse memegang tangan Aldo. Aldo melirik sejenak ke arah tangannya.

“Eh, sorry  nih bukunya aku taruh tengah.” Ucap Nadse.

Guru di depan menuliskan soal-soal rumus atom. Seluruh kelas awalnya sedikit demi sedikit paham. Tapi ketika dua buah soal paling rumit dituliskan, mereka mendadak hening.

“Ada yang bisa?” tanya guru itu.

“Tambahan nilai A+ loh.” Guru itu kemudian duduk.

Tiba-tiba sebuah jari mengacung dengan tinggi. Semua mata tertuju pada orang yang mengacungkan jari itu.

“Ya Aldo? Kamu mau mengerjakan?” tanya guru itu.

“Iya bu.” Aldo kemudian maju dan mengambil spidol. Menuliskan beberapa rumus dan simbol atom. Bagiamana cara ia mengkovalenkan elektron-elektron di orbit atom dan bagaimana perumusan neutron dan proton yang tetap di dalam inti atom.

“Sudah bu.” Kurang dari 1 menit, soal itu selesai. Guru itu maju dan mendekat melihat jawaban Aldo.

“Bagus, kamu walaupun masih murid baru tapi intelektual kamu bagus sekali. Nila A+ buat kamu Aldo.” Ucap guru itu terkesan.

Nadse bertepuk tangan diikuti seluruh isi kelas. Aldo jadi canggung.

“Aldo smart!!!”

“Bener-bener cowok idaman!”

“Ah… klepek-klepek hayati!”

“Sssttt… diam! Kalian mengganggu kelas lain. Sekali lagi ada yag berteriak, ibu suruh keluar!” suasana mendadak hening tak bergeming lagi.

“Ya, Aldo terima kasih. Silahkan kamu duduk kembali.”

“Yeay, kamu hebat banget Do. Aku aja nggak bisa loh ngerjain itu. Nanti istirahat ajarin aku dong. Please….” Ucap Nadse memohon.

“Ah biasa aja kok Nadse. Ajarin ya? Boleh kok.” Balas Aldo.

Kembali ke suasana kelas.

“Ayo, siapa yang bisa menjawab soal ini?” tanya guru itu lagi. Sejenak, hingga ada sebuah tangan dari barisan tempat duduk paling belakang. Semua mata tertuju, tetapi berbeda. Dengan tatapan sinis.

“Oh, Cindy. Silahkan maju.” Ucap guru itu.

Aldo menoleh ke belakang. Pandanganny berhenti pada seseoran. Gadis itu lagi? Mengapa dia ada di sini?

“Nadse, dia sekelas sama kita?” tanya Aldo.

“Iya, soalnya dia maksa-maksa pengen di kelas ini.” ucap Nadse.

Gadis culun itu mengerjakan soal kurang dari 30 detik.

“Seperti biasa, kamu luar biasa ya Cindy.” Ucap guru itu.

“Makasih bu.” Gadis itu kembali duduk. Aldo memperhatikan jawaban dari gadis culun itu di papan tulis.

“Boleh juga tuh anak.” Batin Aldo. Tiba-tiba bel sekolah pun berbunyi menandakan istirahat.

TEETTT… TEETTT… TEETTT…

“Ke kantin yuk Al.” Nadse langsung menarik tangan Aldo.

“Eh, ta-tapi…”

“Udah ayo Al, nanti aku kenalin sama teman-teman yang lain juga. Biar kamu tambah makin akrab dan betah di sini.” Aldo hanya pasrah tangannya ditarik.

“Itu Aldo.”

Saat pergi ke kantin, banyak sekali yang memandangi mereka. Banyak yang bergosip atau membicarakan mereka berdua yang berjalan dengan bergandengan tangan.

“Itu siapa sih yang jalan bareng Nadse?”

“Tumben ada cowok yang jalan bareng Nadse, biasanya dijadiin pesuruh?”

“Lagian kebanyakan cowok di sini pada buta ama kecantikannya.”

“Uh… itu yang jalan ama Nadse keren banget.”

“Ya ampun, mirip sama tokoh drakor.”

“Iya, mirip cogan di webtun kayak egg no id.”

“Ah kebanyakan baca komik elektrik kamu.”

“Em… Nadse, pegangannya bisa dilepasin nggak yah? Banyak yang ngeliatin nih.” Ucap Aldo merasa canggung.

“Oh, sorry.” Nadse melepaskan genggaman tangannya. Setelah sekian lama berjalan, akhirnya mereka sampai di kantin.

“Hello girls!” ucap Nadse mendekat ke arah sebuah meja yang telah dipenuhi oleh beberapa siswi.

“Hello Nadse!” semuanya berdiri satu persatu dan yah, kebiasaan cewek cipika cipiki.

“Aku ada temen baru nih. Kenalin temen-temen, ini namanya Aldo.” Ucap Nadse memperkenalkan pemuda di sampingnya.

“Gracia, panggil Gre.”

“Yang ini Shani, Anin, dan Angel.” Ucap Nadse memperkenalkan semua teman-temannya.

“Hai Aldo.”

“Hai juga semuanya.”

“Sini-sini duduk di sebelah aku Al.” Nadse menpuk-nepuk bangku di sebelahnya mengkode Aldo untuk duduk di sebelahnya. Mereka asyik mengobrol ke sana ke mari. Hingga seseorang lewat.

“Eh, belom pada mesen makanan kan?”

“Belom nih.” Ucap semua yang ada di situ.

“Ets… sini dulu dong.” Nadse tiba-tiba menghada seseorang yang sedang lewat itu dengan tangannya.

“I-iya kenapa Nadse?” gadis itu berhenti.

“Pesenin kita bakso, nih duitnya.”

“Tapi aku mau ke perpus dulu.”

“Nggak ada tapi-tapian oke.”

“Tapi…” Nadse tersenyum seringai dan mengedipkan matanya. Firasat buruk di masa depan.

“Iya.” Balas gadis itu yang ternyata adalah gadis culun yang tadi.

“Kata kamu dia tukang bully, tapi dia kok kayaknya anak baik-baik.” Ucap Aldo heran. Dia malah merasa Nadse yang sedang dalam posisi membully.

“Jangan percaya sama tampangnya dia Al, tampangnya doang yang lugu. Tapi kelakuannya jahat.” Ucap Gre mengedipkan mata pada Nadse.

“Liat nih, bentar lagi dia bakalan berbuat jahat sama kita.” Ucap Angel yang sudah mengerti keadaan.

“Nadse, ini pesenan-“

“EH!”

PYAR!!!

“Duh, jadi kotor nih baju aku.”

Tiba-tiba gadis itu terjatuh dan membuat mangkok berisi bakso itu tumpah ke baju seragam Aldo.

BRAK!

Nadse menggebrak meja dan berdiri.

“Apa maksud lo pake numpahin pesenan kita hah?! Lo liat nggak sih?! Lo punya mata nggak sih?! Gue punya salah apa sama lo sampe-sampe lo kok gini banget sama gue?!” ucap Nadse dengan nada tinggi terisak. Seluruh mata di kantin tertuju pada mereka semua.

“Eh, maksudnya apa-apaan sih ini?! Oke kalo kita punya salah kita minta maaf, tapi emang harus lo itu balas dendam sama Nadse?!”

“Ayo Al, kamu nggak papa?” tanya Nadse sementara teman-temannya beradu mulut. Gadis culun itu sebenarnya hanya diam saja tak bergeming, melirih dalam hati.

“Sandiwara apa lagi yang dibuat oleh Nadse? Hiks…”

“Apa lo nggak kasian sama keluarga lo yang miskin itu dengan kelakuan lo yang kayak gini hah?!” ucap Gre semakin ke depan. Gadis culun itu semakin mundur beberapa langah.

Aldo yang berada dalam posisi netral entah tidak tahu harus bagaimana. Di satu sisi ia kasihan melihat gadis itu. Di satu sisi, ia juga tidak tahu permasalahannya.

“Mau lo apa?!” Nadse maju dan mendorong gadis itu hingga terjatuh.

.

.

.

Kacamatanya lepas, bersamaan kuncir twintailnya juga ikut lepas. Terlihat juga sebuah kalung berbentuk seperti payung dan hujan di lehernya. Menampakkan seseorang yang tak asing bagi Aldo. Pernah diemuinya di suatu tempat.

“Hiks… salah aku apa? Kalian semua jahat. Licik, kalian sekarang udah puas? Hiks…” gadis itu bangkit kemudian berdiri dan berlari dengan tangis terisak.

“Itu kan? Tunggu…

.

.

.

Yupi…” Aldo hanya bisa memandang punggung gadis itu yang berlari sambil terisak.

Aldo hendak mengejarnya tapi ia ditahan oleh Nadse.

“Mau ke mana Al? Udah biarin aja dia.” Ucap Nadse. Ia hanya pasrah dan tertunduk lemas. Apa yang sebenarnya terjadi?

 

[LIONTINE MEMORIES]

 

Bel pelajaran berbunyi tanda masuk kelas. Aldo bersama Nadse dan beberapa teman lainnya yang sekelas segera masuk. Saat sampai, Aldo tidak melihat Yupi duduk di bangku belakang.

“Tasnya juga tidak ada, apa mungkin dia udah pulang?” Aldo terus merasa gelisah sepanjang hari. Hingga keesokan harinya pun, ia juga tidak melihat Yupi. Aldo selalu pulang dengan tampang lesuh.

“Kamu kenapa dek?” kak Melody pun juga tidak mngetahui apa penyebabnya.

“Aku mau istirahat kak, capek.” Aldo langsung naik ke kamarnya di lantai dua. Menaruh tasnya dan menghempaskan tubuhnya di kasur.

Dia membayangkan sesuatu. Terakhir saat kejadian di kantin, ia melihat kalung berbentuk payung dan hujan di leher Yupi.

“Apa mungkin, Yupi itu Yuvia?” pikir Aldo.

“Tapi kalo diliat-liat mirip juga sih.”

“Lah, kenapa gue jadi mikirin dia terus?” tanya Aldo meracau.

“Apa mungkin gue suka ya sama dia. Karena ketulusan hatinya. Orangnya udah baik, cantik lagi.” Aldo mengingat kejadian saat pertama kali mereka bertemu dan indahnya saat mereka bersenda gurau di bianglala menatap indahnya langit malam.

 

[FLASHBACK ON]

Ini terjadi ketika semua pertemuan harus berakhir dengan perpisahan.

Jakarta, 14 Januari Tahun 2000

Aldo’s P.O.V.

Sebelum itu, aku belum memperkenalkan nama lengkapku. Namaku Aldo Rain Rendyan, dan dulunya aku dipanggil Rain. Mengapa? Karena aku suka hujan. Alasan lebih simple-nya, aku suka hujan karena setelah hujan selalu ada pelangi.

Aku punya seorang sahabat kecil. Bisa kalian bilang dia itu imut, kecil, menggemaskan. Tapi aku selalu mengejeknya jelek. Hanya candaan sih. Namanya Cindy Yuvia. Aku biasanya memanggilnya Yuvia, terksesan mudah diingat. Itu saja. Kalian bertanya apa masalahnya? Masalahnya aku harus berpisah dengannya. Orang tuaku dipindahkan tugas kerja di kota Bandung

Saat umurku 5 tahun kala itu…

Hari yang cerah saat itu. Hari yang tepat untuk bersenang-senang. Oh aku hampir lupa, ini hari kepindahanku ke Bandung. Tapi… bagaimana mungkin? Aku nggak bisa ninggalin dia pikirku.

“Al ayo siap-siap dek, kita kan bakal pindah hari ini.” ucap kak Melody.

“Iya kak.” tapi aku masih melamun saja. Aku bimbang dan ingin rasanya menangis karena harus berpisah. Kalau begini, aku benci pertemuan. Kenapa harus bertemu kalau akhirnya harus berpisah? Nggak adil bukan?.

“Oh iya hampir lupa. Ini kan hari ulang tahunnya Yuvia.” ucapku dan langsung saja aku ambil sebuah kado yang sudah aku siapkan untuknya. Aku harap, dia suka. Dan aku bakal ngomongin kepindahanku ini.

Hari itu di sore hari, memang aku sudah mengajaknya. Kami janjian di taman dekat komplek waktu itu. Tepat di bangku taman yang mengarah persis ke arah bianglala yang sedah berputar bak kincir angin yang berkelap-kelip. Mungkin belum terlalu terlihat karena masih sore. Yuvia datang menghampiriku yang tengah duduk di bangku taman sore itu.

“Hai Rain, nunggu lama ya?” ia bicara dengan nada anak kecil manja.

“Ah nggak juga kok Yuv. Ada sesuatu yang mau aku kasih ke kamu nih. Tapi… tutup mata dulu yah.” ucapku. Dia mengangguk dan menutup matanya.

“Tadaaa…!!! Selamat ulang tahun…!!!” aku memberikannya sebuah kado boneka gajah.

“Wuah!!! Bagus banget Rain!” ucapnya senang dan tersenyum ceria.

“Suka?” tanyaku.

“Hmm suka banget.” anggukannya.

“Sebenernya Yup, ada yang aku pengen omongin ke kamu.” ucapku. Ku hela nafas memberanikan diri.

“Aku bakalan pindah.” seketika petir menggelegar kala itu. Langit yang cerah berubah menjadi abu-abu sunyi kelam hitam gulita. Raut wajah Yuvia menandakan kesedihan dan air matanya tak sanggup ditahan.

“Kamu jahat!!! Rain jahat!!! Kenapa kamu ninggalin aku…?!?!?” tangisnya dan hujan mulai turun.

“Dengerin dulu Yuv. Awalnya aku juga sedih kenapa kita haru pisah. Tapi aku ada sesuatu lagi.” ucapku, ku ambil sesuatu yang sudah kusiapkan untuknya saat itu.

“Kalung ini. Lihat, kalung ini aku kasih ke kamu. Tolong jaga semoga kamu ingat denganku terus. Dengar, maafin aku ya kalo ini harus jadi perpisahan kita. Tapi… aku janji suatu saat kita akan bertemu lagi. Setengah hati ini, aku titipin sama kamu” Aku mengambil dan memakaikan sebuah kalung berbentuk payung dan huja bertuliskan ‘RAIN’ yang untuk Yuvia.

“Nggak Rain! Kamu tetep jahat sama aku!!! Aku Benci kamu!!! Aku benci hujan!!!” Yuvia langsung berlari pergi sambil menangis tersendu-sendu sesegukan dari taman komplek itu. Pergi meninggalkanku seorang sendirian di taman kala itu hujan deras mengguyur dan petir menggelegar dimana-mana.

“Maafin aku Yuv. Aku janji, suatu saat nanti kita akan ketemu lagi” batinku. Aku ikut mengangis pecah sambil pulang dengan pakaian basah kuyup. Dingin,kehampaan,teman, itu yang kurasakan dan pikirkan hanya saat itu. Aku pulang dan bertemu kak Melody di rumah.

*****

“Loh kamu dicariin dari mana aja dek? Itu baju kamu basah kuyup gitu ntar masuk angin. Udah sekarang kamu mandi dan ganti baju. 10 menit lagi kita berangkat ke bandara” perintah kak Melody karena melihatku basah kuyup terguyur air hujan. Ku langkahkan kaki melewati kak Melody.

“Eh tunggu-tunggu… Mata kamu sembab. Kamu abis nangis?” tanyanya tapi tidak aku hiraukan. Aku tetap berjalan lurus karena yang kupikirkan hanya dia. Setelah itu langsung ganti baju dan pergi dari rumahku dulu itu bersama keluargaku untuk pindah ke Bandung.

Di perjalanan, aku terus memikirkannya..

“Semoga suatu saat nanti, kalung ini bisa jadi petunjuk. Semoga bisa menjadi petunjuk aku buat nemuin kamu lagi Yuv suatu saat nanti. Mengikuti arah sang cinta dan berharap sebuah balasannya datang walaupun harus menentang arah mata angin.” Batinku.

Rasa-rasanya, bagaimana kalau kamu ditinggalkan oleh orang yang kamu sayangi?

Aldo’s P.O.V. End

[FLASHBACK OFF]

 

Author’s P.O.V.

“Apa mungkin, Yupi itu Yuvia ya? Nama depannya juga agak-agak mirip.”

“Tau ah, pusing. Mending refreshing  aja.” Aldo melangkah ke kamar mandi dan mengganti baju.

Malam pun tiba, ia berencana pergi ke kafe atau tempat nongkrong sendirian. Melepas semua penat dan beban di otaknya.

“Kak, aku pergi dulu.”

“Mau ke mana?” tanya kak Melody

“Refreshing, mau nyari tempat nongkrong.” Aldo melangkah tanpa menoleh ke belakang.

“Ya udah, hati-hati.”

 

—o0o—

 

“Sekarang, lo mendingan angkat kaki dari sini karena gue udah muak liat muka lo dan adek lo!” ucap Nadse membentak Yupi dan Windy. Mengusirnya, lantaran Yupi tidak bisa melunasi uang kostnya.

“Tapi Nadse, aku minta tolong banget sama kamu. Please, kasih aku perpanjangan waktu hiks…” Ucap Yupi menangis, Windy juga ikut terisak.

“Air mata lo nggak mempan lagi sama gue. Ini balesan buat lo karena kejadian kemarin di kantin lo malah ngebongkar kelicikan gue di depan temen-temen lain terutama Aldo!”

“Tapi…”

“Apa?! Iya gue ngaku, gue suka sama Aldo! Dan lo coba ngedeketin dia dari awal dia masuk ke sekolah kita. Gue tau semua itu, tapi gue melakukan segala cara biar lo nggak bisa deket sama dia!”

“Hati kamu busuk Nadse!” pertama kalinya Yupi melawan Nadse.

“Iya!!! Terus kenapa?! Lu mau apa hah?!” Nadse mendorong Yupi lagi sehingga membuatnya jatuh tersungkur dan luka-luka.

“Kakak!” Windy juga ikut bertindak karena ia melihat kakanya diperlakukan sekasar itu di depannya.

“Sekarang lo pergi dari sini!” ucap Nadse melempar semua koper Yupi dan Windy.

“Ayo kita pergi dek.” Ucap Yupi masih kesakitan, jalannya agak gontai seperti pincang. Menyusuri kerasnya jalanan ibu kota.

TIK

TIK

KRETEK KRETEK!

Hujan deras disertai angin mengguyur ibu kota. Tak lupa juga membasahi Yupi dan Windy yang berjalan di ramainya jalanan yang becek.

“Kita neduh dulu yuk dek.” Yupi sadar akan keadaan adiknya yang menggigil. Ia berteduh di sebuah warung yang sudah lama tutup. Dekat dengan emperan.

Cukup lama huja tidak kunjung reda.

Banyak mobil juga kadang melaju kencang sehingga mencipratkan air pada Yupi dan Windy yang terduduk di pinggir emperan warung.

“Tuhan…hm…be-berikan kami kekuatan untuk menghadapi cobaan ini. Berilah pertolonganmu, amin.” Yupi berdoa sampai tak sadar air matanya menetes melihat adiknya yang menggigil. Begitu juga dirinya yang wajahnya sudah pucat.

Tiba-tiba, sebuah mobil berhenti di depannya.

TIN!

TIN!

“Yupi?” tanya seseorang dari dalam mobil menggunakan kacamata hitam. Kemudian orang itu turun dengan membawa payung mendekati Yupi.

“Viny?!”

“Astaga! Kenapa kamu bisa ada di sini? Terus Windy kenapa itu?”

“Ceritanya pan-jang V-Vin.” Lidah Yupi sudah sangat kakau untuk mengucapkan kata-kata.

“Ya udah, sekarang kamu bawa Windy masuk ke mobil aku terus kamu cerita kenapa bisa kayak gini.”

 

*****

 

“Jadi, kamu diusir?” tanya Viny.

“Iya, dan aku sekarang nggak punya tempat tinggal lagi.”

“Ya udah sementara ini kamu tinggal di rumah aku.”

“Tapi, aku takut ngerepotin kamu.” ucap Yupi.

“Udah, santai aja. Kita ini teman, dan teman selalu membantu saat seseorang temannya kesusahan.” Ucap Viny sambil tersenyum.

Untung saja ada Viny. Ratu Vienny Fitrilya dari kelas IX-B. Dia adalah teman pertama Yupi. Orang yang sangat baik.

“Vin, maaf aku mau kerja dulu. Hari ini aku shift malam di kedai.” Yupi mengambil jaketnya hendak pergi.

“Kamu mendingan istirahat aja dulu. Muka kamu pucat banget. Dan, ternyata kamu masih kerja di kedai itu?”

“Iya Vin, itu satu-satunya peluang aku dan adikku untuk hidup mencukupi kebutuhan.” Yupi kemudian pergi.

 

—o0o—

 

Aldo menuju ke sebuah kedai yang bertuliskan ‘Kedai Fanfict’. Ia masuk ke sana, perlahan ia menikmati suasana klasik di sini. Berisi novel-novel dan beberapa karya tulis.

“Kayaknya ini tempat yang cocok deh.” Ucap Aldo. Kemudian ia duduk dan memesan.

“Ada yang bisa saya bantu mas?” datang seorang pelayan.

“Menu spesialnya apa ya mbak?”

“Chocoreo milkhsake sama chocoreo pancake mas.”

“Ya udah, pesan itu aja.”

“Baik ditunggu ya mas.”

Sekian lama menunggu, akhirnya pesanan pun datang.

“Ini mas. Silahkan menikmati.” Ucap pelayan itu dengan topi yang menutupi wajahnya. Hingga pelayan itu mendongak dan…

“Yupi!”

“Eh?! A-aldo?!” Yupi sangat terkejut. Ia segera berlari menuju ke belakang. Aldo mengejar dan ingin menahannya.

“Yupi di mana?”

“Cari siapa mas?” ucap pelayan lain.

“Apa ada pelayan yang namanya Yupi di sini?”

“Iya, kenapa ya mas?”

“Di mana dia?”

“Oh, sayang sekali tadi baru saja ia lari pulang, Katanya ada urusan penting.”

“Ah! Sial!” Aldo mengutuk dirinya sendiri. Dia padahal ingin sekali meminta maaf pada Yupi dan menanyakan apakah dia benar-benar orang yang dicarinya selama ini. Tapi setidaknya, ia tahu bahwa Yupi bekerja di sini.

Aldo pulang dengan wajah lesuh. Mengemudi pun hampir menabrak. Saat sampai rumah pun sama. Langkahnya gontai seperti pikirannya kosong.

 

—o0o—

 

Keesokan harinya di malam hari. Aldo hendak ingin ke kedai itu lagi. Tapi tidak bisa karena malam ini ada acara pensi setiap kelas. Dan Nadse memaksanya untuk datang bersama dengannya.

Sampai malam itu pun, ia tidak melihat Yupi hadir di antara teman-teman kelas maupun satu sekolahan. Hingga ia bertanya pada beberapa kerumunan perempuan.

“Permisi, apa ada yang tau Yupi tinggal di mana sekarang?” tanya Aldo.

“Kamu… Aldo?” ucap salah seorang gadis menggunakan gaun kuning.

“Iya, kenapa ya?”

“Ikut aku. Tinggal dulu ya gais. Have fun!”

Gadis itu megajak Aldo ke suatu tempat sepi di sudut sekolah di mana tidak ada yang bisa mendengar percakapan mereka.

“Kenapa lo nyariin Yupi?”

“Aku pengen minta maaf sama dia.”

“Lo tenang aja, dia ada di rumah gue. Tapi gue nggak bisa pertemuin kalian berdua, Yupi juga lagi nggak bisa diganggu.”

“Ya udah, gue tinggal dulu.”

“Tunggu…

Siapa nama kamu?”

“Viny.” Ucap gadis itu.

 

*****

“Ya sekarang kita masuk ke acara hiburan setelah tadi kita sudah pembukaan dan sambutan-sambutan. Kita undi aja ya kelas mana yang bakal tampil duluang.”

MC mengambil gulungan dari sebuah kocokan itu.

“Pertama kita persembahkan! Dari…

Kelas IX-C!!! Dengan dance covernya!!!”

“Dilanjut IX-B dengan band Panic Monkey  yang beranggotakan Dion, Dika, Anto, dan Ega!”

Lagunya sangat tidak terduga. Judulnya ‘Kitalah Sperma Dewasa’.

Pensi terus berlanjut hingga kelas IX-A. Di saat itu, kelas IX-A yang tergolong kelas unggulan belum siap menampilkan apa-apa. Semua anak kelas IX-A bingung dan saling menyalahkan satu sama lain.

“Ya untuk yang terakhir tampil malam hari ini. Kita sambut kelas IX-A!!!”

“Wuih!!!” tepuk tangan meriah dan sorakan yang kencang dari penonton-penonton anak remaja SMA 48 ini.

PROK!!! PROK!!! PROK!!!

*****

“Abis ngomongin apaan Vin?” tanya kak Kinal dan Naomi.

“Aldo nanyain Yupi.”

“Terus gimana?” tanya Sinka, adik dari kak Naomi.

“Ya gitulah.”

“Yupi mana?”

“Lagi ke toilet bentar.”

“Pokoknya awasin jangan sampe ketemu sama Nadse CS.” Ucap Viny.

“Oke, sip.”

*****

“Jadi, pensi kelas IX-A mana nih ya?” tanya MC kebingungan.

“Duh, gimana nih gais.” Ucap Nadse CS. Teman-teman sekelas lain pun hanya bisa diam. Tapi kalau begini terus, reputasi anak kelas IX-A bakalan turun.

Aldo menghela nafas sejenak.

“Ada gitar akustik?”

“Ada tuh.” Ucap Dion.

“Ya udah, gue maju.” Aldo menaiki panggung sambil menenteng sebuah gitar.

“Oh ini ya?” bisik MC pada panitian.

“Baik! Inilah Aldo yang akan mewakili pensi dari kelas IX-A! Beri tepuk tangan yang meriah!!!”

PROK!!! PROK!!! PROK!!!

“Sebelum itu gue mau kasih tau sesuatu. Lagu ini gue persembahin buat seseorang yang selama ini gue cari. Tapi gue tau orangnya lagi nggak di sini.”

“Owh…” penonoton ikutan baper.

“Gue pengen ngasih tau perasaan gue ini melalui sebuah lagu.”

“You Be Mine.”

Wajahmu, hatimu… telah lama kudambakan

Kamu yang, sejak dulu aku nantikan…

Ketika kau di sampingku, berdebar rasa di hatiku

Diriku, tersipu malu karna dirimu…

Ku ingin kau milikku…

 

Oh baby I’ll take you to the sky

Forever you and I, you and I,

You and I

Dan kita kan selalu bersama

Cintaku selamanya jika kamu milikku…

Milikku…

 

Senyumu, candamu selalu dapat kubayangkan

Kamu yang sejak dulu aku nantikan…

Ku ingin kau milikku

 

Oh baby I’ll take you to the sky

Forever you and I, you and I,

You and I

Dan kita kan selalu bersama

Cintaku selamanya jika kamu milikku…

Milikku…

 

And I want you to be mine

 

Suasana hening sejenak.

“Mana tepukannya yang luar biasa buat Aldo!!!”

PROK!!! PROK!!! PROK!!!

FIT FIUIT!

Aldo sejenak melihat sebuah bayangan putih dari kejauhan di belakang.

“Yupi? Apa itu Yupi?” tanyanya terus menerus dalam hati.

Ia langsung berlari turun dari panggung dan menjemput seseorang itu walaupun dihalangi oleh keramaian.

Semakin dekat …

Hingga ia melihat sebuah tangan yang seperti ingin menggapainya.

“Aldo…”

“Dapat!”

Ia langsung memeluknya erat.

“Ke-kenapa dia bisa ada di sini? Bukannya kemarin dia pergi jauh?” tanya Nadse tidak percaya.

“Kamu ke mana saja?”

“Aku berusaha menjauh dari kamu karena kamu milik Nadse hiks…” benar sekali itu adalah Yupi. Orang yang dicintainya.

Sorotan lampu panggung mengarah pada mereka berdua.

“Aku kangen kamu, Yuvia.” Entah secara tidak langsung ucapan itu keluar dari mulut Aldo.

“Jadi…” Yupi lepaskan pelukan Aldo.

“Iya, ini aku Yuv.”

“Rain!”

“Hiks… kamu jahat ninggalin aku selama 12 tahun di sini.” Yupi terisak dalam tangisannya.

“Maafin aku, aku bodoh. Kamu boleh nampar aku sepuas yang kamu mau.”

PLAK!

Sebuah tamparan mendarat begitu saja di pipi Aldo.

“Ini karena kamu buat aku menunggu selama itu di sini.”

“Dan…”

PLUK

“Ini karena kamu memenuhi janji kamu kembali lagi ke sini.” Tiba-tiba Yupi memeluk Aldo erat seperti tidak ingin melepaskannya.

“Jadi, selama ini…

Kalian udah saling kenal tapi terpisah?” tanya kak Kinal

“Apa?!” yang lainnya juga ikut terkejut.

“Iya, ini buktinya.” Yupi menunjukan sebuah kalung berbentuk payung dan air bertuliskan Rain.

“Yup?” Aldo menyeka air mata Yuvia.

“Ya?”

Tangan sebelah kiri Aldo seperti ada yang menyisipkan sesuatu. Kemudian Aldo berjongkok di depan Yupi.

“Kalau aku salah dan lancang ngomong kayak gini, tampar aku lagi sebanyak apa pun biar aku sadar.”

“Tapi, kalau kamu menerima, tolong terima bunga ini.”

“Do you want to be mine?” Aldo memberikan sebuket bunga yang entah dari mana asalnya.

Suasana mendadak hening. Semuanya seperti dalam atmosfer ketegangan menunggu jawaban Yupi.

“Em…

.

.

.

Yes.”

“Beneran?” Aldo seperti tak percaya dengan jawaban itu.

“Iya, kamu nggak mimpi.” Yupi mencubit pipi Aldo.

“Aw! YES!!!”

“HORE!!!”

“CIE!!!”

“YES!!!” riuh ramai para siswa tidak terbendung mendengar jawaban yang keluar dari bibir Yupi.

Tanpa sadar, Yupi menitihkan air mata. Bukan air mata sedih, air mata haru bahagia.

 

“Lo udah ngancurin reputasi gue, dan sekarang lo juga ngerebut orang yang gue sayangi dari gue. Awas lo Yupi.”

 

[LIONTINE MEMORIES]

 

2 Hari setelah malam membahagiakan itu mereka tampak seperti layaknya sebuah pasangan. Ke sana ke mari selalu lengket.

“Ecie~ yang udah dapet pasangan mah temennya dicuekin nih ye.” Ucap Viny memanas-manasi saat melihat Aldo dan Yupi bergandengan tangan di koridor.

“Ye… sirik aja lu Vin. Makanya, cari sana.” Ucap kak Kinal yang membela Yupi.

“Buset capt, pedes capt pedes. Nyesek tau nggak.”

“Alay banget sih lu.”

“Hahaha…” Aldo, Yupi, dan lainnya hanya tertawa.

“Woi bro!”

“Eh? Dion ya?”

“Ingatan lu masih bagus ternyata.”

“Iya lah, gue tau lu yang nyelipin bunga di tangan gue.” Ucap Aldo.

“Wuih! Indra keenam nih. Dari mana lu bisa tahu? Padahal kan lu nggak nengok ke belakang sama sekali?”

“Asal nebak aja sih.”

“Bangke!”

“Bentar, aku haus nih Al. Mau beli minum dulu.” Pamit Yupi

“Oke, hati-hati.” Balas Aldo

“Buset! Jarak 20 meter aja dibilang suruh hati-hati.”

“Biasa aja mas.” Ucap Sinka.

“Bu, lemon tea satu.”

“Ini neng.”

“Ini bu uangnya.” Yupi memberika selembar uang kertas lima ribuan

“Pas ya neng.”

“Iya, makasih Bu.”

“Rasain lo, kena sekarang.”

*****

Sore harinya seperti biasa, Yupi kembali bekerja di kedai itu. Sebuah kedai klasik berbasis simple but ellegant. Seperti biasa.

“Ya, silahkan mampir lagi ke kedai kami.” Sapa Yupi ramah pada pelanggan.

Pesanan, demi pesanan terus ia layani. Hingga malam tiba, entah rasanya dia seperti pusing dan mual.

“Silahkan da-tang…”

BRUK!

Tiba-tiba Yup jatuh sambil memegangi kepalanya saat sesudah ia membersihkan meja pelanggan dan menyambut pelanggan.

 

[LIONTINE MEMORIES]

 

“Halo?”

“….”

“Kenapa?”

“….”

“APA?!

TIT!

 

—o0o—

 

“Dok, dok! Tolong biarkan saya masuk dok!” Aldo menggedor-gedor pintu UGD dengan dengan sangat khawatir.

“Maaf mas, tapi ini sudah ketentuan rumah sakit. Mas tunggu saja di sini, biar kami yang tangani.” Ucap suster itu mencegah Aldo masuk.

Pikiran Aldo sangat kacau sekarang. Mungkin ini firasat yang dirasakannya tadi. Ia terus mondar-mandir. Berdoa dan memohon. Lidahnya tak berhenti mengucap doa.

*****

Cukup lama ia menunggu hingga 30 menit berselang. Akhirnya dokter keluar dari ruangan itu.

“Dok, bagaimana keadaan dia dok. Bagaimana keadaan pacar saya?! Jawab dok, jawab?!” Aldo mencengkram jas putih milik dokter itu.

“Tolong tenang mas, mari kita bicarakan dengan baik-baik semua ini.” Dokter mengarahkan tangannya menuju ke ruangannya.

“Jadi, bagaimana dok?” tanya Aldo yang langsung membuka pembcaraan.

“Keadaan pacar anda tadi hanya pingsan biasa dan mukanya pucat karena belum makan.” Ucap dokter itu.

“Oh, syukurlah ya Tuhan.” Aldo langsung membasuh wajahnya dengan kedua tangannya.

“Tapi…,”

“Tapi apa dok?” Aldo sepertinya curiga.

“Ah, bukan apa-apa. Baik, saya permisi dulu.” Ucap dokter itu kemudian pergi.

Dengan lega, akhirnya Aldo langsung menuju ke kamar Yupi. Dilihatnya, ia yang sedang terbaring lemah tanpa terbangun. Matanya menutup, nafasnya stabil dengan sebuah tabung oksigen di sebelahnya. Selang infus terpasang pada tangannya.

Dengan langkah cepat, Aldo memasuki ruangan itu tenang. Seperti tidak ingin menganggu Yupi. Ia duduk di sebelahnya persis. Dengan inisiatif, ia meraih tangan Yupi lembut. Menggenggamnya erat dan hangat, seperti tidak mau melepaskan.

Ia terus menunggu dan menunggu. 2 jam berlalu dan masih sama. Yupi masih belum terbangun menyambutnya. Tetes vaksin infus terus mengalir. Hingga ia melihat sebuah pergerakan kecil.

Aldo yang menyadari jari kelingking Yupi bergerak langsung mempererat genggamannya.

“Yup? Bangun, ini aku.” Ucap Aldo tak henti-henti hingga akhirnya Yupi membuka matanya pelan dari sekian lama ia terpejam.

Bola matanya belum terbuka lebar, seperti mengadaptasi pada cahaya terang benderang di ruangan itu. Pupil matanya bergerak mencari sumber suara tanpa menoleh karena kondisinya sangat lemah.

Ia mendapati seseorang tersenyum di sampingnya.

“A… A-aldo.” Lirih Yupi lemah.

“Ya, aku di sini Yup.” Aldo memberi ketenangan pada Yupi.

Yupi tersenyum meneteskan air mata haru melihat seseorang yang ada di sampingnya.

“Udah bisa bangun? Ah, kamu pasti laper ya? Mau aku suapin makan? Nih ada bubur loh.” Aldo menghibur Yupi. Mencoba mengajaknya berbicara.

Yupi mencoba menggerakan seluruh tubuhnya, tapi alhasil kakinya berat untuk digerakan. Tenang, dia tidak lumpuh atau semacamnya. Hanya masih lemah dan lemas.

Aldo membantunya duduk menyandar pada dinding rumah sakit.

“Makasih.” Yupi tersenyum berterima kasih.

Aldo dengan lihai menyendokan sesendok bubur ayam. Yupi tidak akan menolak, karena Aldo yakin pacarnya yang satunya ini doyan makan dan sering diejeknya “gendats” yang arti sebenranya gendut.

“Hu… gendats, makan yang banyak ya.” Aldo terus menyuapi Yupi. Bahkan dengan candaan kereta api yang akan masuk ke terowongan. Hingga bubur itu habis dan Aldo membantu Yupi minum.

“Ih, apaan deh. Gendats-gendats gini kan pacar kamu juga wlee.” Yupi hanya menujulrkan lidahnya.

“Udah kenyang belom? Atau mau aku kupasin buah. Mumpung ada apel nih, masih seger. Mau ya?” ucap Aldo mengambil sebilah pisau dan sebuah apel.

“Boleh deh.” Yupi tersenyum menanggapi kemauan pacarnya.

“Mesra ya kalian. Tapi sayang, waktu salah satu dari kalian akan segera habis.” Ucap beberapa temannya dari luar. Diam-diam mereka mengunti Aldo dan Yupi dari luar ruangan.

“Vin, aku nggak sanggup.” Ucap Kinal.

“Iya, kakak juga.” Ucap Naomi, ia langsung memeluk adiknya Sinka.

“Seenggaknya, kita lakuin apa yang kita bisa di detik-detik terakhir hidupnya.” Ucap Melody. Ve yang berada di sebelahnya langsung menenangkannya.

“Sabar Mel, biarkan adik kamu bahagia sebelum ia harus melepas kepergiannya.”

“Aku Cuma nggak mau dia murung lagi kayak dulu Ve, ini kasusnya beda. Dulu dia yang harus meninggalkan, itu aja sekarang bsa ketemu lagi. Tapi sekarang? Ia harus ditinggalkan selama-lamanya hiks…” Melody tak kuasa menahan air mata.

“Lo sohib gue Do. Gue nggak tega ngeliat gimana jadinya lo nanti.” Ucap Dion, masih sempat-sempatnya dia menangis sedih dengan lap pembalut.

“Parah lu Yon, suasana sedih… lu-lu malah ngelawak.” Anto mengeluarkan ingus dari hidungnya hingga berdarah-darah mimisan. Alasil dia pingsan dan langsung dibawa ke UGD juga.

“Buset lu To, kagak segitunya juga kali. Lu malah nambah nyusahin. Do, kita bakal buat momen terakhir lo indah dengannya.” Ucap Dika.

“Kita lebih baik berdoa saja mas dan mbaknya, kita tidak tahu keputusan Yang Maha Kuasa. Mungkin, ini jalan terbaik untuk mereka berdua.” Dokter itu pergi meninggalkan mereka semua di ruang tunggu.

 

—o0o—

 

Aldo kini sudah tertidur karena mungkin ia sangat lelah dari semalaman menunggui Yupi. Terjaga dari tidur membuat rasa kantuknya semakin menumpuk.

 

KLEK!

 

Pintu ruangan Yupi terbuka. Menampakkan seseorang datang dengan langkah pelan berwibawa.

“Apa kamu yakin tidak ingin menceritakannya?”

“Biar nanti aku yang cerita sendiri ke dia dok. Terima kasih dokter sudah mau mengerti dan menyimpan rahasia, saya sangat berterima kasih.” Ucap Yupi.

“Sebaiknya cepat. Ceritakan dengan perlahan. Saya harap, dia mengerti.” Ucap dokter itu kemudian hendak keluar dari ruangan Yupi.

Sebelum itu, ia berhenti sejenak di depan pintu.

“Ingat, waktu kamu 1 kali 24 jam sebelum penyakit itu menyerang kamu seutuhnya.” Dokter itu pun pergi seiring dengan masuknya angin dari kaca jendela yang dibiarkan terbuka oleh Yupi. Terlampau membawa sejuta kenangan untuk diingat.

Matanya kembali berkaca-kaca. Berbinar, memantulkan ke tujuh warna gemerlap di malam hari hingga tetes air mata tak bisa lagi ia bendung.

“Maafin aku…

.

.

.

Aldo.”

 

—o0o—

 

Keesokan harinya. Di pagi hari Sabtu weekend yang cerah, burung berkicau ke sana kemari menghiasi hangatnya sinara matahari. Aldo mengajak Yupi berjalan-jalan mengitari rumah sakit.

“Al.”

“Iya?”

“Aku pengen main keluar. Boleh?”

“Tapi kan kamu masih sakit.” Larang Aldo.

“Please Al, dengerin aku. Kali ini aja, kamu ikutin kemauan aku.”

“Hmm..” Aldo berpikir keras. Ia tak tega menolak permintaan pacarnya itu.

“Oke deh. Tapi mau ke mana?”

“Nonton yuk ke bisokop!” ujar Yupi antusias.

“Boleh deh, nanti aku minta surat izin ke dokter dulu ya.” Aldo kemudian langsung segera berlari ke ruang dokter.

“Maaf Al…”

 

—o0o—

 

“Emang mau nonton apaan sih?”

Ice Age 5 kayaknya bagus.” Usul Yupi.

“Oke, kamu tunggu dulu di sini ya. Aku mau ke loket dulu.”

*****

“Gimana?”

“Roger di TKP siap! 86!”

“Buset, kagak usah teriak-teriak segala kali Yon.”

“Iya kak?”

“Er… maksud gue Dion. Bukan Yona.”

“Aman kak, lagi di depan bioskop tuh nunggu tiket. Gue juga ikut nonton ah, beli pop corn dulu. Bye kak.”

TIT!

*****

Aldo dan Yupi memilih bangku paling depan. Dengan bergandengan tangan, mereka terus bercanda dan tertawa melihat tokoh-tokoh pemain film itu. Binatang-binatang yang lucu dengan tingkah konyol.

Sedangkan dari belakang, sedang ada beberapa orang dengan baju apalagi tingkahnya konyol sedang mengintai.

TIT

“Roger, mereka pergi makan.”

“Terus awasi.”

“Laksanakan!”

TIT

 

“Laper nih, makan dulu yuk!”

“Oke deh.”

“Permisi mas, mbak. Silahkan mampir saja ke cafe kami. Kami ada diskon dan juga promosi untuk pelanggan yang membawa pasangan” tawar sang owner cafe.

“Tuh… yuk” Yupi mengedipkan sebelah matanya pada Aldo.

“Iya, iya” Aldo menjawab dengan nada kurang bersemangat. Mereka masuk, dan di sana sudah ada sebuah meja dengan hiasan penuh bunga dan beberapa figura love.

“Silahkan mas, mbak” owner cafe mempersilahkan mereka duduk. Segera sang owner memanggil pelayan dan menyuruh untuk memberikan menu kepada Aldo dan Yupi.

“Ini mas, mbak menunya” ucap pelayan itu.

“Kamu apa?”

“Emm… samain aja deh.”

“Minumnya?”

“Cappucino Esspresso dingin.”

“Oh iya, kami ada promosi. Setiap pasangan yang memesan makanan di sini akan dapat free menu dissert baru. Choco LavaBall. Dissert biskuit coklat renyah dengan saus coklat yang meleleh.” Jelas si pelayan.

“Wahh! Asyik. Oke mbak, kita pesen Lasagna 2, Cappucino Esspresso 1, dan Strawbeery Juice nya 1” Yupi terlihat bersemangat memesan.

“Ada lagi?”

“Nggak. Udah, itu aja” si pelayang kemudian beranjak pergi.

“Baik, ditunggu ya. Silahkan lanjutin lagi mesra-mesraan pacarannya” pelayan itu tampak tersenyum.

Setelah lama menunggu, akhirnya pesanan mereka datang.

“Silahkan menikmati.”

 

—o0o—

Makanan utamanya sudah mereka habiskan, kini tersisa dissert yang menjadi promosi cafe ini. Yupi lahap sekali memakan bola-bola renyah itu. Ia lihat, Aldo hanya diam saja memperhatikannya makan.

“Kenapa diem aja? Cobain juga dong. Enak loh.” Yupi tak henti-hentinya makan.

“Pantes aja gendats. Makanya banyak gini.”Aldo menatap dengan wajah tidak percaya. Merasa Yupi hanya diperhatikan saja, ia berinisiatif agar Aldo juga mencobanya.

“Buka mulutnya…” Yupi mulai menyendokan satu Lava Ball itu.

“Emm… nggak ah, nggak mau.” Aldo menolak dengan menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

“Iiihhh…! cobain dulu.” Yupi tetap memaksa.

“Nggak mau.” Aldo masih menolak.

“Tetep nggak mau ya? Aku kasih tau kak Melody gimana yah reaksinya?” Yupi mulai mengambil Hpnya dan mencari kontak kak Melody. Hanya dengan tombol call saja, dan semua masalah usai.

“Argghhh! Iya, iya. Ngancem mulu mainnya, huft…” Aldo akhirnya membuka mulutnya. Soalnya tadi kak Melody berpesan untuk menuruti semua perkataan Yupi. Kalo enggak, nanti uang jajan Aldo akan dipotong

“Aaammm… gimana? Enak kan?”

“Lumayan lah.”

 

—o0o—

 

“Roger di TKP! Siap! 86!”

“Sok-sokan gaya pake ngomong kek gituan.”

“Udahlah, diem aja kak. Target dalam pengawasan nih.”

“Gimana? Sukses?”

“Nggak kak, Sarimi aja deh. Yang isi dua ya. Biar hemat, komplit, dan irit.”

“Kamu mau kakak santet?!”

“Eh?! Ya jangan dong kak”

“Sekarang! Kembali ke operasi militer!”

“Siap! Laksanikan!”

“Dah abis nih, keluar yuk.” Yupi memberesi tasnya.

“Eh bentar.” Aldo menahannya.

“Kalo makan tuh pelan-pelan. Belepotan kayak anak kecil gini.” ada sisa sedikit lelehan coklat di bibir Yupi. Aldo membersihkannya dengan tissue yang ada di meja makan tersebut. Yupi terus memandangi Aldo, tapi Aldo tak menyadarinya. Ia hanya fokus membersihkan.

“Shuuuttt… mau sampe kapan di sini? Udah yuk buruan pulang.” Aldo melambaikan tangan di depan wajah Yupi. Ia akhirnya tersadar dan wajahnya tertunduk merah merona. Aldo tanpa ba bi bu langsung menarik tangan Yupi keluar dari cafe itu. Karena Aldo merasa ada yang memperhatikan. Ia hanya curiga dengan seseorang yang mengenakan pakaian tertutup kotak-kotak dan topi detektif seperti mengawasinya, hanya saja kurang mencolok karena buku menu tadi menjadi saasaran empuk sudut pandang pengawasannya.

“Pulang yuk, udah sore nih. Liat, udah jam 5.” Aldo melirik ke arah jam tangannya dan nampak langit juga sudah menunjukan semburat jingga keemasan oranye.

Yupi masih diam tertunduk, kemudian ia menarik baju Aldo.

“Tunggu.” wajahnya masih tertunduk saat bicara.

“Hmm? Kenapa?”

“Tolong, kali ini aja. Kita pergi ke suatu tempat. Sore ini juga.” ucap Yupi pelan.

“Eh, tapi…”

“Please, kali ini aja.” nada bicaranya seperti sangat memohon. Sepertinya ada sesuatu yang ia sembunyikan. Aldo berpikir sejenak. Seperti tidak tega, akhinya ia menuruti kemauan Yupi.

Yupi menghantarkannya ke suatu tempat. Sebuah tempat yang bisa dibilang tidak asing baginya. Aldo memarkirkan mobilnya di sudut tempat itu. Kemudian ia ditarik oleh Yupi keluar.

“Kita mau ke…ma…na…?”

DEG!

“Tempat ini…”

Ya, sebuah taman. Penuh dengan anak kecil yang berlari ke sana kemari dan juga… sebuah…

Bangku taman? Yupi menariknya ke tempat itu sambil masih tertunduk. Wajahnya terhalang oleh poninya.

“Taman ini…

“Benar, nggak asing lagi. Tempat pertama kali aku bertemu dengan Yupi.” Rendy masih merekam jelas memory kenangan masa kecilnya. Kenangan bersama teman masa kecil yang sangat ia sayangi. Tempat terindah dan tak terlupakan olehnya.

*****

“Target menuju sebuah taman komandan!”

“Taman mana?”

“Anda lihat saja sendiri.” orang itu memperlihatkan pemandangan di sekitar taman itu. Ya, karena memang sedang menggunanakan aplikasi Video Call.

“Tempat ini…”

“Kenapa dengan tempat ini komandan?”

*****

“Kinal, siapin tempat di pasar malam. Sekarang!”

“Oke siap!”

“Hiks….”

 

—o0o—

 

“Kamu masih ingat tempat ini?”

“Ya.”

“Al, aku mau jujur hiks….” Entah tiba-tiba Yupi terisak tangis.

“Sebelum itu, aku mau ke sungai itu dulu sebentar.”

“O-oke, kamu kenapa tiba-tiba nangis?” Yupi tidak menjawabnya dan tetap berjalan menuju tepi sungai dekat taman itu.

Ia melepaskan kalung yang ia pakai dan menaruhnya di sebuah kotak yang elah ia siapkan.

“Pergilah semua kenangan tentangku, pergilah semua ingatan tentangku, semoga kamu menemukan pemilikmu yang baru. Yang bisa mengisi hatinya saat aku sudah tidak disampinya.. hiks… lagi… hiks….” Yupi mengalirkan kotak itu. Ia kemudian kembali duduk di samping Aldo.

Hari berubah menjadi gelap di malam Minggu yang penuh keramaian ini. Pasar malam itu masih ada dan bianglala itu teroperasi dengan lampu yang berkelap-kelip.

“Aku mau naik bianglala.”

“Oh, baiklah. Ayo!” Aldo sangat bersemangat. Mereka kemudian membeli tiket dan mulai menaiki wahana itu lagi seperti saat pertama kali mereka bertemu di sini.

[LIONTIN MEMORIES]

yuyu1

“Indah kayak biasanya ya.”

“Iya, kamu bener Yup.”

“Aku mau ngomong serius Al.”

“Hm? Ya ngomong aja.”

“Al, aku terkena penyakit kanker otak stadium 4.”

“Apa? Hei hei, kamu jangan bercanda dong. Nggak lucu nih, hari ini bukan hari ultah aku loh. Tapi hari ini kan….” Aldo melihat Hpnya dan mengecek tanggal. Menunjukkan tangga 14 di bulan Januari yang memiliki makna hujan berhari-hari.

“Oh iya, ini kan hari ulang tahun kamu.” Aldo menepuk dahinya.

“Aku nggak bohong.”

“Maksudnya? Ka-kamu….”

“Ini hari terakhir aku. Kata dokter, aku bisa bertahan sampai malam ini.”

“Te-terus, ke-kenapa kamu nggak cerita sama aku? Kenapa Yup?! Jawab?!” Aldo mulai tersulut emosi.”

“A-aku nggak mau kamu cemas Al, aku nggak mau kamu menderita. Maafin aku kalo aku bikin kamu sakit.”

“Rasanya, baru malam Minggu kemarin kita bertemu. Sekarang, kita harus berpisah selama-lamanya ya?”

“Aku ingin kamu mengatakannya Al. Jika aku menyakitimu, maka aku nggak pengen jadi pendamping hidup kamu lagi.” Yupi melepaskan genggaman Aldo. Tapi dengan sekejap…

PLUK!

Aldo memeluk Yupi dengan erat. Sangat erat. Dia juga menangis di bahu Yupi.

“Ya, itu menyakitkan. Begitu menyakitkan sampai hatiku ingin meledak. Meskipun begitu aku….”

“Tetap ingin bersama kamu.”

“Ke-kenapa kamu sampe seperti itu?!” Yupi terenyuh.

“Karena aku mencintaimu!” setelah cukup lama, Aldo melepaskan pelukan erat itu dengan matanya yang masih sembab.

“Hm, aku ingin tau apa yang akan kamu lakuin di masa depan nanti.” Yupi memandang ke arah langit-langit malam.

“Em… hei Al. Apa yang kamu sukai dariku?” tanya Yupi dengan nada lucu.

“Kalau aku, suka caramu menahan air matamu, meskipun kau merasa sakit, dan berusaha keras untuk tersenyum.”

“Aku, suka semua hal tentangmu.” Ucap Aldo.

“Hei, Aldo. Aku bahagia banget punya kehidupan yang berliku-liku. Benar kan?” Yupi mengambil sebuah cincin.

“Cincin itu….”

Sebuah cincin yang sebenarnya sudah Aldo siapkan, namu terjatuh tadi saat di rumah sakit. Ternyata Yupi yang menemukannya.

Yupi memakaikannya untuk Aldo, begitu juga sebaliknya.

“Uh…” nafas Yupi mulai terengah, wajahnya semakin pucat.

“Yup… hiks….” Wajah Aldo mendekat bersamaan dengan wajah Yupi. Hanya berjarak 10 centimeter.

“Aku harap kamu bertemu dengan orang yang penting bagimu.”

“Kamu menangis untukku…

Terima kasih…”

CUPZ

 

[LIONTIN MEMORIES]

“Kalung yang bagus… Agak aneh sih, tapi bentuknya bagus. Kayak payung sama tulisan gitu,” ucap gadis itu sambil mengamati.

“Rain.”

3 tahun berlalu. Membuat banyak perubahan. Selama 2 tahun terakhir, Aldo berkuliah di Jepang dan mendapat banyak pelajaran baru. Hingga ia harus kembali ke Indonesia lantaran kakanya yang menyuruhnya. Katanya sih, kak Melody kesepian nggak ada teman.

Sekarang, ia masuk satu Universitas ternama di Jakarta. Universitas Indonesia, menjadi tempat bernaungnya di jurusan Ekonomi.

“Hei, Van. Tuh, kakak kelas yang pinter. Baru pulang dari London loh.”

“Iya tuh, adiknya kak Melody. Orang paling gans di Univ ini. Coba deh lo Pedekate sambil nanya-nanya pelaran matkul. Siapa tahu bisa deket, jarang loh dia mau ngajarin.”

“Ah masa sih?”

“Iya, dah sana samperin!” gadis yang dibelakangnya gadis itu mendorongnya hingga dia menabrak seseorang.

“Em… maaf kak, permisi. Aku boleh minta ajarin kakak nggak? Mahasiswa ekonomi kan?”

Pemuda di hadapannya itu tidak bergeming hanya menatap gadis itu dalam diam.

“Kalung itu…,”

“Yupi?” tanyanya.

“Hah? Siapa itu Yupi? Aku bukan Yupi kak.” Ucap gadis itu cemberut. Poninya bergoyang menutupi dahinya, mulut dan tubuhnya yang mungil, kulitnya putih dan lolly.

“Eh, maaf kakak kira kamu Yupi. Kenalin, nama kakak Aldo Rain Rendyan.” Aldo tersadar dari lamunannya.

“Vanka, Jovanka Kezia Nathania semester 2 jurusan ekonomi.”

Cinta itu…

Cara Indah Naluri Temukan Asmara

~>THE END<~

@Rendyan_Aldo

 

 

 

 

5 tanggapan untuk “Liontin Memories

    1. Di Jepang, sebelum itu dia liburan ke London dulu. Melepas penat dan mencoba ngilangin kenangannya di Jakarta. Tapi seketika gagal lagi karena kakaknya nyuruh dia balik lagi

      Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.