Cahaya Kehidupan : Aku Cinta Pertama Part 25

* Tiga bulan berlalu sejak kejadian di dalam bus kota itu. Sebelas
tahun meninggalkan kota lamanya membuat Dhee agak rindu akan eloknya
kampung halaman. Seperti dirinya, kota itu banyak berubah. Kota
kecilnya dulu kini telah tumbuh menjadi kota super besar.

Perbukitan dilangkahi, danau diurug, rawa-rawa ditimbun. Gedung-gedung
menjulang tinggi. Pabrik-pabrik dibangun. Pelabuhan berubah
mencengangkan. Pasar tradisional yang dulunya terlihat bau dan becek
telah menjelma menjadi pusat perbelanjaan yang wangi dan rapi.

Rumah-rumah kumuh disulap menjadi pemukiman-pemukiman elit yang mewah.
Terminal kota itu juga banyak berubah. Tidak dikenali Dhee lagi. Tidak
cocok dengan ingatannya dulu.

Jalan-jalan membesar, taman-taman menghijau, lampu jalanan yang indah,
trotoar yang rapi. Kota itu sepertinya dibangun dengan baik sebelas
tahun terakhir.

Rumah? Hanya itu yang Dhee tidak tahu. Apakah masih ada? Atau
jangan-jangan sudah bertingkat puluhan? Dia malas pergi kesana, tidak
akan pernah lagi. Untuk apa? Untuk mengenang masa lalunya yang kelam?
Membayangkan wajah ayahnya saja sudah membuatnya muak.

Kabar baik, pertumbuhan kota yang pesat itu membutuhkan banyak tenaga
kerja baru. Proyek-proyek besar membutuhkan buruh-buruh baru bak mesin
yang bekerja siang malam ditengah teriknya matahari kota yang pengap,
mengejar waktu.

Disanalah Dhee tiga bulan terakhir berlabuh. Hanya gitar milik Epul
yang menemani hari-harinya yang sangat membosankan. Tidak ada syarat
keahlian menjadi pekerja bangunan.

Tiga bulan berlalu, Dhee pekerja yang rajin. Kalimat-kalimat Kak
Melody dulu membekas di kepalanya. Semua anak rumah singgah itu dulu
juga pekerja yang tekun.

Dhee berkembang pesat, ia dengan mudahnya menterjemahkan
hitungan-hitungan geometri. Bahkan kini sudah mahir hitungan
aritmatika dan aljabar. Ia kini membuat desain arsitektur menggunakan
nalar matematik.

Tiga bulan berlalu lagi, Dhee mendapatkan promosi pertamanya. Menjadi
mandor junior, membawahi 24 buruh. Dhee menjadi pemimpin yang baik,
disukai pekerja-pekerjanya.

Dhee banyak bicara, tidak banyak menyuruh. Ringan tangan membantu,
disiplin, dan sedikit misterius. Dhee mulai menyukai rutinitas
barunya. Semua ini menyenangkan, lebih menyenangkan dari rutinitasnya
menjadi pengamen.

Dhee tinggal di kontruksi gedung yang mereka bangun. Membuat kamar
petak di lantai dua, tinggal bersama buruh yang lainnya. Dhee mulai
bisa melupakan kenangannya bersama Reza.

Suatu hari beberapa pekerjanya sempat ramai berbincang tentang legenda
pencuri hebat yang dieksekusi itu. Dhee hanya diam mendengarkan. Tidak
perlu ikut nimbrung bersama mereka.

Malam ini untuk kesekian kalinya Dhee menaiki anak tangga menuju
lantai paling atas. Duduk di palang besi yang menjulur dua meter. Jam
sebelas malam, Dhee menatap rembulan di langit malam.

“Wih, bapak lagi santai?” suara memecahkan keheningan.
Dhee menoleh, ternyata ia adalah Gre. Salah satu anak buah Dhee
mendekat. Anak itu lebih muda enam tahun darinya.

Gre adalah satu-satunya buruh wanita di proyek itu. Meskipun wanita,
tapi ia tidak main-main soal pekerjaan. Tidak pernah jaim meskipun itu
adalah pekerjaan kasar bagi wanita. Ia sudah pengalaman, banyak
bekerja untuk keluarganya.

“Kemarilah.” Dhee menawarkan tempat duduk di sebelahnya.
“Tidak mau, pak.” Gre menggeleng pelan.
“Aku tidak bisa kesana.” sambung Gre, ia tidak bisa duduk di palang
besi yang menjulur.

Dhee tertawa, membiarkan Gre duduk satu meter di belakangnya. Gre
sering menemaninya, tapi jika ia sedang santai saja. Karena Gre tidak
mau mengganggu mandornya.

“Kamu mau coba, Gre?” Dhee menoleh, menjulurkan tangan memberikan
sebuah teropong.
“Wah, asyik nih. Mau, mau pak.” Gre tertawa.

Dhee merangkak mendekat, menyerahkan teropong bintang miliknya. Gre
mulai mengenakan teropong. Berdecak kagum menyaksikan pemandangan kota
yang dipenuhi ribuan cahaya.

“Wah, BAPAK!!! Ada gadis cantik.” Gre antusias menggodanya.
“Sumpah pak, dia cantik sekali.” Gre semakin antusias, sementara Dhee
hanya bergumam seraya tertawa melihat tingkah konyol anak buahnya.

Dhee mengangkat bahu. Gadis cantik? Dia pernah melihat sekali.
Tepatnya tiga bulan lalu. Di dalam bus kota yang membawanya pulang.
Apa yang ia lakukan waktu itu? Berdegup kencang bagai melihat hantu.

“Lihatlah, pak. Cantik sekali.” Gre menyerahkan teropong, Dhee
tersenyum kecil dan mulai mengarahkan teropong  ke bawah.
“Mana? Hanya ada nenek-nenek.” Dhee bergurau.

“Bukan yang itu, tapi yang lagi jalan di trotoar itu.” Gre
menunjuk-nunjuk, sementara Dhee terus mencari orang yang Gre maksud.
“Ketemu tidak? Bagaimana? Cantik sekali, bukan?” Gre kembali menggoda atasannya.

Dhee hendak menggeleng. Tidak ada gadis disana. Tapi tiba-tiba gerakan
tangannya terhenti, akhirnya. Dhee sontak kehilangan kata-kata. Dhee
mengenalinya, gadis itu…

BERSAMBUNG

By : @RusdiMWahid

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.